Lihat Kartu Ucapan Lainnya (KapanLagi.com)

12.10.2008

Sekuntum “Cinta” Pengantin Syurga

“Cinta itu mensucikan akal, mengenyahkan kekhawatiran, memunculkan keberanian, mendorong berpenampilan rapi, membangkitkan selera makan, menjaga akhlak mulia, membangkitkan semangat, mengenakan wewangian, memperhatikan pergaulan yang baik, serta menjaga adab dan kepribadian. Tapi cinta juga merupakan ujian bagi orang-orang yang shaleh dan cobaan bagi ahli ibadah,” Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam bukunya Raudah Al-Muhibbin wa Nuzhah Al-Musytaqin memberikan komentar mengenai pengaruh cinta dalam kehidupan seseorang.

Bila seorang kekasih telah singgah di hati, pikiran akan terpaut pada cahaya wajahnya, jiwa akan menjadi besi dan kekasihnya adalah magnit. Rasanya selalu ingin bertemu meski sekejab. Memandang sekilas bayangan sang kekasih membuat jiwa ini seakan terbang menuju langit ke tujuh dan bertemu dengan jiwanya.

Indahnya cinta terjadi saat seorang kekasih secara samar menatap bayangan orang yang dikasihi. Bayangan indah itu laksana air yang menyirami, menyegarkan, menyuburkan pepohonan taman di jiwa.

Dahulu di kota Kufah tinggallah seorang pemuda tampan rupawan yang tekun dan rajin beribadat, dia termasuk salah seorang yang dikenal sebagai ahli zuhud. Suatu hari dalam pengembaraannya, pemuda itu melewati sebuah perkampungan yang banyak dihuni oleh kaum An-Nakha’. Demi melepaskan penat dan lelah setelah berhari-hari berjalan maka singgahlah dia di kampung tersebut. Di persinggahan si pemuda banyak bersilaturahim dengan kaum muslimin. Di tengah kekhusyu’annya bersilaturahim itulah dia bertemu dengan seorang gadis yang cantik jelita.

Sepasang mata bertemu, seakan saling menyapa, saling bicara. Walau tak ada gerak lidah! Tak ada kata-kata! Mereka berbicara dengan bahasa jiwa. Karena bahasa jiwa jauh lebih jujur, tulus dan apa adanya. Cinta yang tak terucap jauh lebih berharga dari pada cinta yang hanya ada di ujung lidah. Maka jalinan cintapun tersambung erat dan membuhul kuat. Begitulah sejak melihatnya pertama kali, dia pun jatuh hati dan tergila-gila. Sebagai anak muda, tentu dia berharap cintanya itu tak bertepuk sebelah tangan, namun begitulah ternyata gayung bersambut. Cintanya tidak berada di alam khayal, tapi mejelma menjadi kenyataan.

Benih-benih cinta itu bagai anak panah melesat dari busurnya, pada pertemuan yang tersamar, pertemuan yang berlangsung sangat sekejab, pertemuan yang selalu terhalang oleh hijab. Demikian pula si gadis merasakan hal serupa sejak melihat pemuda itu pada kali yang pertama.

Begitulah cinta, ketika ia bersemi dalam hati… terkembang dalam kata… terurai dalam perbuatan…Ketika hanya berhenti dalam hati, itu cinta yang lemah dan tidak berdaya. Ketika hanya berhenti dalam kata, itu cinta yang disertai dengan kepalsuan dan tidak nyata…

Ketika cinta sudah terurai jadi perbuatan, cinta itu sempurna seperti pohon; akarnya terhujam dalam hati, batangnya tertegak dalam kata, buahnya menjumbai dalam perbuatan. Persis seperti iman, terpatri dalam hati, terucap dalam lisan, dan dibuktikan oleh amal.

Semakin dalam makna cinta direnungi, semakin besar fakta ini ditemukan. Cinta hanya kuat ketika ia datang dari pribadi yang kuat, bahwa integritas cinta hanya mungkin lahir dari pribadi yang juga punya integritas. Karena cinta adalah keinginan baik kepada orang yang kita cintai yang harus menampak setiap saat sepanjang kebersamaan.

Begitupun dengan si pemuda, dia berpikir cintanya harus terselamatkan! Agar tidak jadi liar, agar selalu ada dalam keabadian. Ada dalam bingkai syari’atnya. Akhirnya diapun mengutus seseorang untuk meminang gadis pujaannya itu. Akan tetapi keinginan tidak selalu seiring sejalan dengan takdir Allah. Ternyata gadis tersebut telah dipertunangkan dengan putera bapak saudaranya.

Mendengar keterangan ayah si gadis itu, pupus sudah harapan si pemuda untuk menyemai cintanya dalam keutuhan syari’at. Gadis yang telah dipinang tidak boleh dipinang lagi. Tidak ada jalan lain. Tidak ada jalan belakang, samping kiri, atau samping kanan. Mereka sadar betul bahwa jalinan asmaranya harus diakhiri, karena kalau tidak, justeru akan merusak ’anugerah’ Allah yang terindah ini.

Bayangkan, bila dua kekasih bertemu dan masing-masing silau serta mabuk oleh cahaya yang terpancar dari orang yang dikasihi, ia akan melupakan harga dirinya, ia akan melepas baju kemanusiaannya dengan menabrak tabu. Dan, sekali bunga dipetik, ia akan layu dan akhirnya mati, dipijak orang karena sudah tak berguna. Jalan belakang ’back street’ tak ubahnya seperti anak kecil yang merusak mainannya sendiri. Penyesalan pasti akan datang belakangan, menangispun tak berguna, menyesal tak mengubah keadaan, badan hancur jiwa binasa.

Cinta si gadis cantik dengan pemuda tampan masih menggelora. Mereka seakan menahan beban cinta yang sangat berat. Si gadis berpikir barangkali masih ada celah untuk bisa ’diikhtiarkan’ maka rencanapun disusun dengan segala kemungkinan terpahit. Maka si gadis mengutus seorang hambanya untuk menyampaikan sepucuk surat kepada pemuda tambatan hatinya:

”Aku tahu betapa engkau sangat mencintaiku dan karenanya betapa besar penderitaanku terhadap dirimu sekalipun cintaku tetap untukmu. Seandainya engkau berkenan, aku akan datang berkunjung ke rumahmu atau aku akan memberikan kemudahan kepadamu bila engkau mau datang ke rumahku.”

Setelah membaca isi surat itu dengan seksama, si pemuda tampan itu pun berpesan kepada kurir pembawa surat wanita pujaan hatinya itu.

“Kedua tawaran itu tidak ada satu pun yang kupilih! Sesungguhnya aku takut akan siksaan hari yang besar bila aku sampai durhaka kepada Tuhanku. Aku juga takut akan neraka yang api dan jilatannya tidak pernah surut dan padam.”

Pulanglah kurir kekasihnya itu dan dia pun menyampaikan segala yang disampaikan oleh pemuda tadi.

Tawaran ketemuan? Dua orang kekasih? Sungguh sebuah tawaran yang memancarkan harapan, membersitkan kenangan, menerbitkan keberanian. Namun bila cinta dirampas oleh gelora nafsu rendah, keindahannya akan lenyap seketika. Dan berubah menjadi naga yang memuntahkan api dan menghancurkan harga diri kita. Sungguh heran bila saat ini orang suka menjadi korban dari amukan api yang meluluhlantakkan harga dirinya, dari pada merasakan keindahan cintanya.

“Sungguh selama ini aku belum pernah menemukan seorang yang zuhud dan selalu takut kepada Allah swt seperti dia. Demi Allah, tidak seorang pun yang layak menyandang gelar yang mulia kecuali dia, sementara hampir kebanyakan orang berada dalam kemunafikan.” Si gadis berbangga dengan kesalehan kekasihnya.

Setelah berkata demikian, gadis itu merasa tidak perlu lagi kehadiran orang lain dalam hidupnya. Pada diri pemuda itu telah ditemukan seluruh keutuhan cintanya. Maka jalan terbaik setelah ini adalah mengekalkan diri kepada ’Sang Pemilik Cinta’. Lalu diapun meninggalkan segala urusan duniawinya serta membuang jauh-jauh segala sesuatu yang berkaitan dengan dunia. Memakai pakaian dari tenunan kasar dan sejak itu dia tekun beribadat, sementara hatinya merana, badannya juga kurus oleh beban cintanya yang besar kepada pemuda yang dicintainya.

Bila kerinduan kepada kekasih telah membuncah, dan dada tak sanggup lagi menahahan kehausan untuk bersua, maka saat malam tiba, saat manusia terlelap, saat bumi menjadi lengang, diapun berwudlu. Shalatlah dia dikegelapan gulita, lalu menengadahkan tangan, memohon bantuan Sang Maha Pencipta agar melalui kekuasaa-Nya yang tak terbatas dan dapat menjangkau ke semua wilayah yang tak dapat tersentuh manusia., menyampaikan segala perasaan hatinya pada kekasih hatinya. Dia berdoa karena rindu yang sudah tak tertanggungkan, dia menangis seolah-olah saat itu dia sedang berbicara dengan kekasihnya. Dan saat tertidur kekasihnya hadir dalam mimpinya, berbicara dan menjawab segala keluh-kesah hatinya.

Dan kerinduannya yang mendalam itu menyelimuti sepanjang hidupnya hingga akhirnya Allah memanggil ke haribaanNya. Gadis itu wafat dengan membawa serta cintanya yang suci. Yang selalu dijaganya dari belitan nafsu syaithoni. Jasad si gadis boleh terbujur dalam kubur, tapi cinta si pemuda masih tetap hidup subur. Namanya masih disebut dalam doa-doanya yang panjang. Bahkan makamnya tak pernah sepi diziarahi.

Cinta memang indah, bagai pelangi yang menyihir kesadaran manusia. Demikian pula, cinta juga sangat perkasa. Ia akan menjadi benteng, yang menghalau segala dorongan yang hendak merusak keindahan cinta yang bersemayam dalam jiwa. Ia akan menjadi penghubung antara dua anak manusia yang terpisah oleh jarak bahkan oleh dua dimensi yang berbeda.

Pada suatu malam, saat kaki tak lagi dapat menyanggah tubuhnya, saat kedua mata tak kuasa lagi menahan kantuknya, saat salam mengakhiri qiyamullailnya, saat itulah dia tertidur. Sang pemuda bermimpi seakan-akan melihat kekasihnya dalam keadaan yang sangat menyenangkan.

“Bagaimana keadaanmu dan apa yang kau dapatkan setelah berpisah denganku?” Tanya Pemuda itu di alam mimpinya.

Gadis kekasihnya itu menjawab dengan menyenandungkan untaian syair:

Kasih…

cinta yang terindah adalah mencintaimu,

sebuah cinta yang membawa kepada kebajikan.

Cinta yang indah hingga angin syurga berasa malu

burung syurga menjauh dan malaikat menutup pintu.

Mendengar penuturan kekasihnya itu, pemuda tersebut lalu bertanya kepadanya, “Di mana engkau berada?”

Kekasihnya menjawab dengan melantunkan syair:

Aku berada dalam kenikmatan

dalam kehidupan yang tiada mungkin berakhir

berada dalam syurga abadi yang dijaga

oleh para malaikat yang tidak mungkin binasa

yang akan menunggu kedatanganmu,

wahai kekasih…

“Di sana aku bermohon agar engkau selalu mengingatku dan sebaliknya aku pun tidak dapat melupakanmu!” Pemuda itu mencoba merespon syair kekasihnya

“Dan demi Allah, aku juga tidak akan melupakan dirimu. Sungguh, aku telah memohon untukmu kepada Tuhanku juga Tuhanmu dengan kesungguhan hati, hingga Allah berkenan memberikan pertolongan kepadaku!” jawab si gadis kekasihnya itu.

“Bilakah aku dapat melihatmu kembali?” Tanya si pemuda menegaskan

“Tak lama lagi engkau akan datang menyusulku kemari,” Jawab kekasihnya.

Tujuh hari sejak pemuda itu bermimpi bertemu dengan kekasihnya, akhirnya Allah mewafatkan dirinya. Allah mempertemukan cinta keduanya di alam baqa, walau tak sempat menghadirkan romantismenya di dunia. Allah mencurahkan kasih sayang-Nya kepada mereka berdua menjadi pengantin syurga.

Subhanallaah! Cinta memiliki kekuatan yang luar biasa. Pantaslah kalau cinta membutuhkan aturan. Tidak lain dan tidak bukan, agar cinta itu tidak berubah menjadi cinta yang membabi buta yang dapat menjerumuskan manusia pada kehidupan hewani dan penuh kenistaan. Bila cinta dijaga kesuciannya, manusia akan selamat. Para pasangan yang saling mencintai tidak hanya akan dapat bertemu dengan kekasih yang dapat memupus kerinduan, tapi juga mendapatkan ketenangan, kasih sayang, cinta, dan keridhaan dari dzat yang menciptakan cinta yaitu Allah SWT. Di negeri yang fana ini atau di negeri yang abadi nanti.

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya di antara kamu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Ruum : 21).

dari Raja’ bin Umar An-Nakha’i dll.

Meraih Berkah dari Sebuah Apel

“Alhamdulillah, selama hidup saya tidak pernah makan sesuatu atau memberikan sesuatu yang dilarang Allah pada anak saya untuk dimakan. Anak perempuan saya baik dalam segala hal. Kalian adalah pasangan yang serasi. Semoga Allah Subhanahu wa ta`ala memberkati kalian dan menganugerahkan kalian anak yang shaleh. Saya memberikan kebun apel ini sebagai hadiah pernikahan kalian. Sekarang, pergilah menemui isterimu.”
Kalimat penuntas itu ditujukan kepada seorang lelaki Tsabit bin Ibrahim, yang tidak lain adalah ayah kandung Imam Abu Hanifah –seorang imam dan cendekiawan sepanjang masa– ketika masih muda telah menjadi seorang yang sangat shaleh, jujur dan suka menolong. Ia tidak pernah iri hati pada harta benda milik orang lain. Ia juga berusaha untuk tidak melanggar hak orang lain.

Siang itu udara panas sekali. Seorang anak muda berjalan sendiri, di tengah hutan gersang dengan pepohonan yang jarang. Tampak terseok-seok berjalan. Didera rasa haus dan lapar ia mencoba untuk tetap meneruskan perjalanan. Ternyata di hutan itu ia menemukan sebuah sungai kecil berair cukup jernih.
“Alhamdulillah air ini cukup membantu menghilangkan dahagaku.” Dia berkata dalam hati seraya membasuh mukanya.
Namun setelah air mengalir membasahi kerongkongannya, perutnya pun berteriak minta diisi. Sudah dua hari lebih ia belum makan. Sepanjang melintasi perjalanan tadi, ia belum menemukan makanan apapun. Jangankan hewan liar, pohon yang berbuah pun tak dijumpainya.
Sambil duduk memandangi sungai, ia merenungi perjalanannya, atau lebih tepat pengembaraannya. Telah beberapa waktu dilalui hidupnya untuk mengembara melintasi bumi Allah, sekedar mencari pengalaman hidup dan berguru pada mereka yang ditemuinya. Tanpa sadar karena lapar dan kantuk yang mulai menyerang, dilihatnya satu dua benda yang mengapung di sungai kecil itu. Dipandanginya lebih jelas. Ya, itu adalah buah, seperti buah apel karena merah warnanya. Bangkit dari duduknya kemudian mencari sebatang dahan kayu untuk menarik buah itu ke pinggir.
“Alhamdulillah, kalau rezeki tak akan kemana. Bismillahirrahmaanirrahiim….hmm, lezat sekali apel ini. Serasa masih baru dipetik dari pohonnya.” Gumamnya, setelah 3-4 gigitan yang telah ditelan, tiba-tiba anak muda itu berhenti mengunyah apel tersebut.
“Astaghfirullah, buah ini belum diketahui siapa yang empunya, kok sudah aku makan tanpa seijinnya.” Sejenak kemudian mengalir air matanya. Terisak ia.
“Buah ini belum halal bagiku. Duhai perutku maafkan diriku yang telah memberikan sesuatu yang belum jelas kehalalannya padamu.” Terdiam, buah apel yang sudah separuh dimakan itu kemudian ia pandangi, berpikir mencoba mengolah isi hatinya. Sebuah sikap langka untuk sekarang ini.
Saat ini kejujuran begitu sulit ditemui. Kejujuran sudah menjadi barang langka, jangankan untuk mengembalikan atau menghalalkan sepotong apel, uang triliunan rupiah dibawa kabur sambil tidak ada niat untuk mengembalikannya. Atau untuk hal-hal “kecil” seperti menggunakan aset kantor untuk keperluan pribadi, sudahkah kita menghalalkannya?
“Aku harus menemukan sumber dari buah apel ini. Bertemu dengan pemiliknya dan meminta kepadanya untuk mengikhlaskan satu buah apel ini untuk menjadi rezekiku.”
Bergegas ia membereskan perbekalannya dan kemudian berjalan menyusuri sungai kecil itu untuk menemukan sumber buah apel yang dimakannya. Hingga sampailah ia di sebuah kebun kecil di pinggir sungai yang disusurinya itu. Tampak ada beberapa ladang dengan beberapa jenis tanaman lain di dekat situ, juga sebuah gudang kecil. Sejurus kemudian tertahan pandangannya pada sebuah rumah yang sederhana namun cukup asri yang menunjukkan penghuninya adalah orang yang rajin merawatnya. Menujulah ia kesana dengan harap-harap cemas dapat bertemu pemiliknya.
Pemuda Tsabit sesekali membandingkan apel yang ada di tangannya dengan apel yang ada di sekitar kebun itu. Tsabit yakin apel yang ada di tangannya itu berasal dari kebun itu.
“Assalamu’alaikum..”
“Wa alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh..”
Sesosok lelaki paruh baya muncul dari balik pintu.
“Siapakah engkau wahai anak muda?”
“Nama saya Tsabit bin Ibrahim, apakah bapak pemilik rumah ini, juga kebun dan ladang di dekat rumah ini?”
“Betul, sayalah pemiliknya.”
“Apakah kebun apel itu juga milik bapak?”
“Iya, kebun itu milik saya, sekarang sedang berbuah.
“hmm, silakan masuk dan duduk dulu.”
“Begini tuan, saya adalah seorang pengembara, ketika sedang dalam perjalanan, saya menemukan sungai kecil. Disitu kemudian saya temukan beberapa buah apel yang terapung. Karena lapar yang telah begitu mendera , saya ambil dan saya makan. Saya baru sadar bahwa buah ini pasti ada yang punya sebelumnya, hingga kemudian saya mengikuti sungai tadi dan menemukan kebun dan rumah Tuan” lanjutnya sambil memperlihatkan buah apel yang tinggal separuh.”
“Hmm….”, lelaki pemilik rumah itu bergumam pendek.
“Maafkan saya, sudilah kiranya Tuan yang baik hati untuk mengikhlaskan buah apel ini untukku. Tanpa keikhlasan Tuan, niscaya buah apel ini akan menjadi barang haram yang saya makan, dan saya akan menyesalinya seumur hidup saya. Tak terperi rasanya dalam urat nadi saya mengalir darah yang yang disusupi ketidakhalalan. Bagaimana pertanggungjawaban saya terhadap keturunan saya, darah daging saya kelak??” Pemuda ini kembali menyaput air mata yang menggenang..
Pemilik kebun itu adalah seorang yang alim dan shaleh. Ia tahu, dalam pandangan agama tidak ada alasan untuk tidak mengizinkan seseorang makan apel yang ditemukan di pinggir sungai.
Ia merenung, “Saya ingin mengetahui, apakah anak muda ini benar-benar seorang yang ‘alim, yang takut pada Allah karena telah melakukan sesuatu yang ia tidak yakin apakah itu benar atau salah. Atau ia hanya seorang pembual bermuka dua, yang hanya ingin menarik perhatian?” Untuk bisa menjawab pertanyaan itu, akhirnya pemilik kebun apel memutuskan untuk menguji anak muda tersebut.
Setelah beberapa saat pemilik kebun apel berkata dengan roman muka yang masam. “Anak muda, saya tidak bisa begitu mudah memaafkan kamu, saya punya persyaratan untuk itu.” Tiba-tiba ia mendapat ide untuk menguji anak muda ini.
“Baiklah, tapi saya mengajukan persyaratan. Untuk apel yang telah engkau makan, engkau harus membayarnya dengan bekerja di kebunku selama 3 tahun tanpa bayaran. Jadi engkau hanya akan mendapat makanan dan minuman sehari-hari sebagai upah bekerja itu. Dan untuk itu, engkau boleh menempati gudang di sebelah itu sebagai tempat bernaungmu.”
Awalnya Tsabit muda bersiteguh untuk membayar apel itu, tetapi pemilik kebun apel tidak mengizinkannya. Tercekat pemuda itu mendengar ucapan si orang tua. Lama ia terdiam, kacau, kalut, menimbang-nimbang. Akhirnya, setelah menghela nafas sambil beristighfar berkali-kali, ia mengangguk. Tidak ada pilihan lain. Ia harus memperbaiki kesalahannya, agar dimaafkan. Tanpa berpikir panjang lagi segera ia menyetujui persyaratan yang sulit itu. Selama tiga tahun ia bekerja untuk pemilik kebun apel itu.
“Tuan, mungkin sudah ditakdirkan oleh Allah, ini sudah menjadi suratan nasib saya. Kiranya Allah mengetahui apa yang terbaik bagi saya demi halalnya makanan yang masuk ke dalam tubuh saya ini.”
Akhirnya bekerjalah sang anak muda itu di kebun dan ladang lelaki tua. Dengan giat dijalani hidupnya di ladang dan kebun tersebut. Seraya selalu memohon keberkahan dalam lakon hidup yang dijalaninya.
Setelah 3 tahun berjalan, anak muda itu kemudian menemui pemilik kebun.
“Tuan, hari ini hari terakhir saya bekerja disini. Saya telah menyelesaikan janji saya memenuhi permintaan Tuan.”
Pemilik kebun apel sadar, bahwa anak muda ini, yang sedang berdiri di hadapannya, adalah orang yang luar biasa. Anak muda ini telah memikat hatinya dan karenanya ia tidak akan membiarkan anak muda ini pergi begitu saja.
Pemilik kebun apel sejenak kemudian menjawab, “Tunggu dulu anak muda, masa 3 tahun sudah engkau jalani, namun saya belum dapat memaafkan. Persayaratan terakhir adalah engkau harus menikahi putriku semata wayang. Yang perlu engkau ketahui bahwa ia tidak dapat menggerakkan tangannya, tidak bisa berjalan, tidak bisa mendengar dan tidak bisa melihat. Seandainya engkau menerimanya sebagai istri, maka kuikhlaskan buah apel dari kebunku yang engkau makan waktu itu.”
Jujur saja, menikahi seorang wanita cacat, adalah perkara yang sulit. Persyaratan ini sangat berat bagi Tsabit. Tapi hidup dengan mengabaikan suara hati nurani dan ketika kelak meninggal dan akan bertemu dengan Allah, tentunya lebih berat lagi. Tsabit merenung, begitu aneh perannya dalam kehidupan yang bisa terjadi, hanya karena menemukan apel yang sedang menggelinding di tepi sungai, lalu menggigitnya tanpa berpikir panjang. Sambil memandang tanah dengan wajah pucat pasi Tsabit berkata :
“Duhai, ujian apa lagi ini ya Allah, setiap lelaki tentu mengharapkan istri yang sempurna, secantik bidadari, bermata jeli dengan riasan mahkota permaisuri di kepalanya. Tak terbayang betapa berat semua ini.” Pilu doanya dalam hati.
Namun sebagai. “Ya, saya menyetujui persyaratan Tuan, dengan begitu sebaiknya Tuan memaafkan saya.” akhirnya lelaki yang teguh memegang janjinya itu mengangguk. Di dalam setiap ujian, ada hikmah yang semoga dapat meningkatkan ketakwaannya.
Beberapa hari kemudian, Tsabit menikah dengan anak perempuan si pemilik kebun apel secara sederhana. Pada malam harinya, Tsabit pergi menuju kamar pelaminan, dimana mempelai wanita telah menunggunya. Di sana ia melihat seorang muslimah impian yang cantik jelita, yang tersenyum padanya. Tsabit merasa takjub dan terheran-heran:
“Ya Allah, saya telah salah masuk kamar.” Tsabit bergegas meninggalkan kamar dan dalam sekejab ayah wanita itu datang menghampirinya.
“Maaf, saya telah salah masuk kamar.” Tsabit mencoba menjelaskan dengan wajah tersipu malu.
“Itu bukan kamar yang salah. Ia adalah anak perempuan saya.” jawab si pemilik kebun apel yang sekarang telah menjadi mertuanya.
“Saya sudah menemuinya. Tapi ia bukanlah anak perempuan seperti yang Tuan ceritakan pada saya. Ia sama sekali tidak cacat seperti yang Tuan katakan.”
Mertuanya berkata sambil tersenyum, “Anakku! Anak perempuan saya lumpuh, karena ia sampai saat ini tidak pernah memasuki tempat hiburan manapun, ia buta, karena sampai sekarang tidak pernah memandang laki-laki yang tak dikenalnya, ia juga tuli, karena ia selama ini tak pernah mendengar fitnah dan hanya mematuhi Al Qur’an dan kata-kata Rasululllah Shalallaahu Alaihi wa Sallam.”
Subhanallah sungguh keshalihahan seorang muslimah sejati. Hal Ini juga sudah langka. Saat ini kita begitu sulit menemukan seorang muslimah yang “buta, bisu, tuli, dan lumpuh” dari hal-hal yang diharamkan oleh Allah. Mungkin ada, tetapi begitu sulit menemukannya. Mungkin, bagi seorang laki-laki yang menginginkan muslimah seperti ini, setidaknya harus memiliki kejujuran yang dimiliki oleh Tsabit.
Karena alasan itulah sang pemilik kebun mempertimbangkan secara mendalam dan akhirnya mengambil keputusan menyerahkan anak perempuannya kepada Tsabit, karena dia telah yakin bahwa Tsabit pantas mendapinginya. Karena takut pada sari apel yang telah masuk ke dalam perutnya, setuju untuk bekerja selama 3 tahun hanya agar kesalahannya dimaafkan.
“Alhamdulillah, selama hidup saya tidak pernah makan sesuatu atau memberikan sesuatu yang dilarang Allah pada anak saya untuk dimakan. Anak perempuan saya baik dalam segala hal. Kalian adalah pasangan yang serasi. Semoga Allah Subhanahu wa Ta`ala memberkati kalian dan menganugerahkan kalian anak yang shaleh. Saya memberikan kebun apel ini sebagai hadiah pernikahan kalian. Sekarang, pergilah menemui isterimu.”
Begitu mendengar kata-kata itu, Tsabit segera melupakan semua kegundahan di hatinya selama ini dan pergilah ia menuju pasangan hidupnya yang berharga dan sangat dikasihinya. Dari pernikahan ini lahirlah Imam besar Abu Hanifah, yang mengajarkan dasar-dasar Mahzab Hanafi.
Tsabit telah memakan setengah buah apel, terus mencari pemiliknya meskipun harus menempuh perjalanan sehari semalam. Kemudian dia sanggup untuk menikahi anak pemilik kebun meskipun dikatakan bahwa putrinya tersebut buta, tuli, bisu, dan lumpuh. Sungguh semua itu dilakukan Tsabit demi kehalalan sebuah apel. Namun karena ‘kehalalan’ inilah dia beroleh berkah dari Allah.
“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi.” (QS. Al Fathir:29)

11.19.2008

4 GOLONGAN MANUSIA BERDASARKAN NIAT DALAM BERAMAL

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dalam kitab shahihnya dan hadits ini dinilai shahih oleh syaikh al-Albani
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda :

Sesungguhnya (manusia) didunia itu terbagi menjadi empat golongan :



Yang pertama : Seorang hamba yang dikaruniai oleh Allah harta dan ilmu, lalu ia bertaqwa kepada Rabb-nya, melakukan silaturrahim dan mengajarkan kebenaran ilmunya karena Allah, maka kedudukan orang yang pertama ini merupakan kedudukan yang tertinggi

Yang kedua : seorang hamba yang dikaruniai ilmu tapi tidak dikaruniai harta, kemudian ia berniat dengan jujur seraya berkata: “Sekiranya aku dikaruniai harta, maka aku akan infakkan hartaku seperti yang telah dilakukan si Fulan (orang yang pertama tadi). Maka dengan niatnya itu, ia mendapatkan pahala seperti pahala yang didapatkan si Fulan.

Yang ketiga: Seorang hamba yang dikaruniai oleh Allah harta, tetapi tidak dikaruniai ilmu, maka ia menafkan hartanya tanpa didasari dengan ilmu, tidak bertaqwa kepada Rabb-nya, tidak menyambung silaturrahim dan tidak mengajarkan kebenaran karena Allah, maka golongan ini adalah sjelek-jelek manusia yang ada diatas bumi.

Dan yang keempat : seorang hamba yang tidak dikaruniai oleh Allah harta maupun imu, lau ia mengatakan “ Sekiranya aku diberi harta seperti si Fulan, maka aku akan menafkahkan seperti si Fulan (golongan yang ketiga) maka ia dengan niatnya itu akan mendaptkan dosa yang sama dengan dosanya si Fulan

10.24.2008

Antara Mahram Dan Muhrim

Kaum muslim(ah) seringkali dibingungkan (salah kaprah) dengan istilah muhrim dan mahram.
Muhrim, bagi kebanyakan kaum muslim, berarti pihak2 yg DILARANG DINIKAHI. Sementara istilah mahram sendiri, mungkin tidak banyak yg tahu.

Jika ditinjau dari bahasa, muhrim dalam bahasa Arab adalah muhrimun (huruf mimnya di-dhammah) yang maknanya adalah orang yang berihram dalam pelaksanaan ibadah haji sebelum tahallul. Sedangkan mahram bahasa Arabnya adalah mahramun (huruf mimnya di-fathah) artinya orang yang diharamkan nikah dengannya selama2nya (baik lelaki atau perempuan lain).
Dengan info ini, seharusnya kita terhindar dari salah kaprah ini.
Mahram ini berasal dari kalangan wanita, yaitu orang-orang yang haram dinikahi oleh seorang lelaki selamanya (tanpa batas). (Di sisi lain lelaki ini) boleh melakukan safar (perjalanan) bersamanya, boleh berboncengan dengannya, boleh melihat wajahnya, tangannya, boleh berjabat tangan dengannya dan seterusnya dari hukum-hukum mahram.
Mahram sendiri terbagi menjadi tiga kelompok, yakni mahram karena nasab (keturunan), mahram karena penyusuan, dan mahram mushaharah (kekeluargaan kerena pernikahan).
Mahram karena nasab:
Ayah kandung, kakek dari jalur ayah maupun dari jalur ibu dan seterusnya keatas (kalo ada buyut), saudara kandung laki-laki, anak kandung, cucu dan seterusnya kebawah (kalo ada cicit), saudara laki2 kandung ayah (yaitu paman dari jalur ayah), saudara laki-laki kandung ibu(paman dari jalur ibu), saudara laki-laki kandung kakek, saudara kandung laki-laki nenek, anak laki-laki dari saudara kandung laki-laki/perempuan (yaitu keponakan laki-laki), cucu saudara kandung dan seterusnya kebawah.
Mahram karena pernikahan:
Suami, ayah suami (mertua), kakek dari suami, anak laki-laki dari suami (anak tiri), suami dari anak (menantu), suami ibu (ayah tiri), suami nenek (kakek tiri).
Mahram karena susuan:
Anak susuan, anak dari anak susuan (cucu susuan) dan seterusnya ke bawah, Ayah susuan, Ayah dari ayah/ibu susuan, saudara laki-laki dari ayah susuan, saudara laki-laki dari ibu susuan, saudara laki-laki sesusuan, anak laki-laki dari saudara sesusuan, cucu laki-laki dari saudara sesusuan dan seterusnya ke bawah.
(note: urutan mahram susuan sama dgn urutan mahram karena nasab berdasarkan hadits “Darah susuan mengharamkan seperti apa yang diharamkan oleh darah nasab”[HR. Al Bukhari dan Muslim])
Kelompok pertama, yakni mahram karena keturunan, ada tujuh golongan:
1. Ibu, nenek dan seterusnya ke atas baik dari jalur laki-laki maupun wanita
2. Anak perempuan (putri), cucu perempuan dan seterusnya ke bawah baik dari jalur laki-laki maupun wanita
3. Saudara perempuan sekandung, seayah atau seibu
4. Saudara perempuan bapak (bibi), saudara perempuan kakek (bibi orang tua) dan seterusnya ke atas baik sekandung, seayah atau seibu
5. Saudara perempuan ibu (bibi), saudara perempuan nenek (bibi orang tua) dan seterusnya ke atas baik sekandung, seayah atau seibu
6. Putri saudara perempuan (keponakan) sekandung, seayah atau seibu, cucu perempuannya dan seterusnya ke bawah baik dari jalur laki-laki maupun wanita
7. Putri saudara laki-laki sekandung, seayah atau seibu (keponakan), cucu perempuannya dan seterusnya ke bawah baik dari jalur laki-laki maupun wanita
Dalilnya adalah,“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan…” An-Nisa(4): 23
Kelompok kedua, juga berjumlah tujuh golongan, sama dengan mahram yang telah disebutkan pada nasab, hanya saja di sini sebabnya adalah penyusuan. Dua di antaranya telah disebutkan ALLOH SWT,“Dan (diharamkan atas kalian) ibu-ibu kalian yang telah menyusukan kalian dan saudara-saudara perempuan kalian dari penyusuan.” An-Nisa(4):23.
Ayat di atas menunjukkan dan menjelaskan bahwa seorang wanita yang menyusui seorang anak menjadi mahram bagi anak susuannya, padahal air susu itu bukan miliknya melainkan milik suami yang telah menggaulinya sehingga memproduksi air susu. Ini menunjukkan secara tanbih bahwa suaminya menjadi mahram bagi anak susuan tersebut . Kemudian penyebutan saudara susuan secara mutlak, berarti termasuk anak kandung dari ibu susu, anak kandung dari ayah susu, serta dua anak yang disusui oleh wanita yang sama.
Dengan demikian, anak si ibu tidak diperbolehkan menikah dg anak sepersusuan, karena keduanya (berdasar ayat di atas) sudah menjadi mahram. Kemudian cucu dari orang tua susu adalah mahram sebagai anak saudara (keponakan) karena susuan, dan seterusnya ke bawah. Saudara dari orang tua susu adalah mahram sebagai bibi karena susuan, saudara ayah/ ibu dari orang tua susu adalah mahram sebagai bibi orang tua susu dan seterusnya ke atas.
Adapun kelompok ketiga, jumlahnya 4 golongan, sebagai berikut:
1. Istri bapak (ibu tiri), istri kakek dan seterusnya ke atas berdasarkan surat An-Nisa ayat 23.
2. Istri anak, istri cucu dan seterusnya ke bawah berdasarkan An-Nisa: 23.
3. Ibu mertua, ibunya dan seterusnya ke atas berdasarkan An-Nisa: 23.
4. Anak perempuan istri dari suami lain (rabibah) , cucu perempuan istri baik dari keturunan rabibah maupun dari keturunan rabib, dan seterusnya ke bawah berdasarkan An-Nisa: 23.
Dari referensi lain, ada hal yg masih ‘diperdebatkan’…yakni masalah definisi sepersusuan. Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di, Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin dan Syaikhuna (Muqbil) rahimahumullahu, bahwa penyusuan yang mengharamkan adalah yang berlangsung pada masa kecil sebelum melewati usia 2 tahun, berdasarkan firman ALLOH SWT,“Para ibu hendaklah menyusukan anaknya selama 2 tahun penuh bagi siapa yang hendak menyempurnakan penyusuannya.” Al-Baqarah(2): 233
Dan Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha muttafaqun ‘alaihi bahwa penyusuan yang mengharamkan adalah penyusuan yang berlangsung karena rasa lapar dan hadits Ummu Salamah yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Al-Irwa (no. hadits 2150) bahwa tidak mengharamkan suatu penyusuan kecuali yang membelah (mengisi) usus dan berlangsung sebelum penyapihan.
Selain itu, yang diperhitungkan adalah minimal 5 kali penyusuan. Setiap penyusuan bentuknya adalah: bayi menyusu sampai kenyang (puas) lalu berhenti dan tidak mau lagi untuk disusukan meskipun diselingi dengan tarikan nafas bayi atau dia mencopot puting susu sesaat lalu dihisap kembali.
Kesimpulan:
- Istilah yg ‘benar’ untuk laki-laki/perempuan yg dilarang dinikahi adalah MAHRAM. Muhrim = orang yg berihram.
- Seorang perempuan yg hendak bepergian hendaknya dilindungi lelaki yg menjadi mahramnya, agar terhindar dari kejahatan yg mungkin muncul selama perjalanan.
- Seseoang dinyatakan menjadi mahram apabila dia menyusu sebelum umur 2 tahun, dan tindakan menyusu dilakukan (sedikitnya) 5 kali penyusuan.

8.26.2008

Doa Buka Puasa Ternyata Dhoif

Ketika berbuka puasa, TV dan Radio ramai2 mengumandangkan Adzan Magrib. Dan diikuti oleh do’a buka puasa :

Bismillahi allahumma laka shumtu, wa ’ala rizkika afthartu.”

Dengan nama Allah, Ya Allah karena-Mu aku berbuka puasa dan atas rizqi dari-Mu aku berbuka

(Riwayat : Thabrani di kitabnya Mu’jam Shogir hal 189 dan Mu’jam Auwshath).

Bunyi hadis lengkapnya adalah : “Dari Anas, ia berkata : Adalah Nabi SAW : Apabila berbuka beliau mengucapkan : Bismillahi, Allahumma Laka Shumtu Wa Alla Rizqika Aftartu ( artinya : Dengan nama Allah, Ya Allah karena-Mu aku berbuka puasa dan atas rizqi dari-Mu aku berbuka).” (Riwayat : Thabrani di kitabnya Mu’jam Shogir hal 189 dan Mu’jam Auwshath).

Dan berbagai macam bacaan semisalnya. Karena memang banyak hadis serupa yg lafadznya berbeda2. Tapi anehnya bahkan sampai ada sebuah stasiun TV yang melagukannya.

Perlu kita ketahui, bahwa hadis diatas itu dhoif / lemah, karena :

Di sanad hadist ini ada Ismail bin Amr Al-Bajaly. Dia seorang rawi yang lemah.

Imam Dzahabi mengatakan di kitabnya Adl-Dhu’afa : Bukan hanya satu orang saja yang telah melemahkannya.

Kata Imam Ibnu ’Ady : Ia menceritakan hadith-hadith yang tidak boleh diturut.

Kata Imam Abu Hatim dan Daruquthni : Lemah !

Abdul Hakim bin Amir Abdat : Dia inilah yang meriwayatkan hadith lemah bahwa imam tidak boleh adzan (lihat : Mizanul I’tidal 1/239).

Di sanad ini juga ada Dawud bin Az-Zibriqaan.

Kata Muhammad Nashiruddin Al-Albani : Dia ini lebih jelek dari Ismail bin Amr Al-Bajaly.

Kata Imam Abu Dawud, Abu Zur’ah dan Ibnu Hajar : Matruk.

Kata Imam Ibnu ’Ady : Umumnya apa yang ia riwayatkan tidak boleh diturut (lihat Mizanul I’tidal 2/7)

Abdul Hakim bin Amir Abdat : Al-Ustadz Abdul Qadir Hassan membawakan riwayat Thabrani ini di Risalah Puasa tapi beliau diam tentang derajad hadith ini ?

Hadis serupa lainnya :

“Dari Muadz bin Zuhrah, bahwasanya telah sampai kepadanya, sesungguhnya Nabi Shallallahu alaihi wasallam. Apabila berbuka (puasa) beliau mengucapkan : Allahumma Laka Sumtu wa ’Alaa Rizqika Aftartu.”

(Riwayat : Abu Dawud No. 2358, Baihaqi 4/239, Ibnu Abi Syaibah dan Ibnu Suni) Lafadz dan arti bacaan di hadith ini sama dengan riwayat/hadith yang pertama kecuali awalnya tidak pakai Bismillah.)

Dalam hadits ini ada ’illat, yaitu ketidak-jelasan identitas Muaz.

“MURSAL, karena Mu’adz bin (Abi) Zur’ah seorang Tabi’in bukan shahabat Nabi Shallallahu alaihi wasallam. (hadis Mursal adalah : seorang tabi’in meriwayatkan langsung dari Nabi Shallallahu alaihi wasallam, tanpa perantara shahabat).

Ibnu Hajar mengatakan hadits ini maqbul bila ada ikutannya, bila tidak maka hadits ini lemah sanadnya dan mursal. Hadits mursal menurut pendapat yang rajih dari mazhab As-Syafi’i dan Ahmad tidak bisa dijadikan hujjah. Ini berbeda dengan metodologi Imam Malik yang sebaliknya dalam masalah hadits mursal.

“Selain itu, Mu’adz bin Abi Zuhrah ini seorang rawi yang MAJHUL. Tidak ada yang meriwayatkan dari padanya kecuali Hushain bin Abdurrahman. Sedang Ibnu Abi Hatim di kitabnya Jarh wat Ta’dil tidak menerangkan tentang celaan dan pujian baginya”.

Masih banyak hadis2 yang serupa namun berbeda lafadz, seperti misalnya :

1. “Dari Ibnu Abbas, ia berkata : Adalah Nabi SAW apabila berbuka (puasa) beliau mengucapkan : Allahumma Laka Shumna wa ala Rizqika Aftharna, Allahumma Taqabbal Minna Innaka Antas Samiul ’Alim (maksudnya : Ya Allah ! untuk-Mu aku berpuasa dan atas rizkqi dari-Mu kami berbuka. Ya Allah ! Terimalah amal-amal kami, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar, Maha Mengetahui).

(Riwayat : Daruqutni di kitab Sunannya, Ibnu Sunni di kitabnya ’Amal Yaum wa-Lailah No. 473. Thabrani di kitabnya Mu’jamul Kabir).

2. Allahumma laka shumna, wa ’ala rizkika aftharna, Allahumma taqabbal minna innaka antas samiul-alim.

3. dll.

Dan semua hadis itu dhoif. Jika ingin lebih detailnya lihat di rubrik tanya jawab di eramuslim.

Doa Berbuka Puasa yang Lain

“Dari Ibnu Umar, adalah Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, apabila berbuka (puasa) beliau mengucapkan : dzahabazh zhaama-u wabtallatil ’uruqu wa tsabatal ajru insya Allah. ( artinya : Telah hilanglah dahaga, telah basahlah kerongkongan/urat-urat, dan telah tetap ganjaran/pahala, Inysa allah).

(riwayat : Abu Dawud No. 2357, An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubra 2/255, Ad-Daruquthni 2/185, Al-Baihaqi, 4/239)

Daruquthni dan ia mengatakan sanad hadith ini HASAN. (Hakim 1/422 Baihaqy 4/239)

Al-Albani menyetujui apa yang dikatakan Daruquthni.

Abdul Hakim bin Amir Abdat berpandangan : Rawi-rawi dalam sanad hadith ini semuanya kepercayaan (tsiqah), kecuali Husain bin Waaqid seorang rawi yang tsiqah tapi padanya ada sedikit kelemahan (Tahdzibut-Tahdzib 2/373). Maka tepatlah kalau dikatakan hadith ini HASAN.

Fatwa asy-Syaikh Yahya ibn Ali al-Hajuri menyatakan bahwa hadis tersebut DHOIF.

Banyak ulama yang berpegangan pada hadis ini karena telah dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani. Namun saya tidak tahu apa alasan Syeikh Yahya ibn Ali Al-Hajuri mendhoifkannya. Mungkin karena sama seperti alasan Abdul Hakim bin Amir Abdat, yaitu mempermasalahkan Husain bin Waaqid. Namun saya belum menemukan keterangan yang lebih rinci soal ini. Wa’allahua’alm bishowab.

7.14.2008

Penuturan Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani Mengkaitkan Asyuro dengan Maulid

Di antara syubhat / ketersamaran tentang perayaan Maulid yang ada di dalam pikiran para pelaku, pendukung dan pembela Maulid adalah penuturan Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani yang mengkaitkan rasa syukur atas nikmat kelahiran dan kedatangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Agar lebih jelas, berikut kami kutip pemaparan Al-Imam As-Suyuthi tentang hal ini.1
Imam al Huffadz Abu Fadhl Ahmad bin Hajar -AlAsqalani- telah mentakhrij mengenai masalah Maulid yang didasarkan kepada Sunnah, maka saya mentakhrijnya sebagai sumber kedua, “Syaikhul Islam Hafidz Al Ashr Abu Al Fadhl Ahmad bin Hajar -Al Asqalani- ditanya tentang peringatan Maulid, maka dia menjawab:
“Pada dasarnya peringatan Maulid adalah bid’ah karena tidak seorangpun dari ulama salafusholih 3 abad pertama yang melakukannya. Akan tetapi, bagaimanapun peringatan itu telah mencakup kebaikan dan juga kejelekan, maka barangsiapa bisa mengambil baiknya dan membuang jeleknya, peringatan Maulid itu menjadi bid’ah hasanah; jika memang tidak maka tidak menjadi bid’ah hasanah. ”
Dia (Ibnu Hajar) berkata,
“Adapun saya mengembalikan masalah ini kepada sumber pokoknya, yaitu sebuah hadits yang diriwayatkan dalam Shahihain dari Nabi Shalallahu alaihi wa sallam, Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiallahu anhu berkata,
Sewaktu Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam tiba di Madinah, baginda mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari AsySyura. Ketika ditanya tentang puasa mereka, mereka menjawab,
“Hari ini adalah hari kemenangan yang telah diberikan oleh Allah kepada Nabi Musa alaihi salam dan kaum Bani Israel dari Fir’aun. Kami merasa perlu berpuasa pada hari ini sebagai ucapan terima kasih kami kepadaNya. ”
Lalu Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Kami lebih berhak daripada kamu dan Nabi Musa dalam hal ini. Kemudian baginda memerintahkan para shahabat supaya berpuasa pada hari tersebut. ” (Mutafaq alaihi) 2
Dari hadits diatas dapat ditarik benang merah bahwa untuk bersyukur kepada Allah atas nikmat yang telah diberikan kepada kita pada hari tertentu atau untuk mencegah musibah dan bencana tertentu.
Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita agar memperbanyak ibadah didalamnya dengan berbagai macam bentuknya, seperti shalat, puasa, shadaqoh, membaca al Qur’an dan sebagainya. Nikmat mana yang lebih besar daripada nikmat datangnya nabi yang penuh rahmat pada hari kelahirannya.
Maka dari itu, hendaknya pada hari kelahirannya itu dirayakan dengan ibadah, sehingga sama dengan kisah Musa alaihi salam pada bulan AsySyura. Orang yang tidak memperhatikan masalah ini, tidak akan peduli hari apa dan bulan apa melakukan perayaan Maulid, bahkan ada sekelompok orang yang memindahkan hari peringatan Maulid itu pada satu hari, kapanpun dalam satu tahun itu. Ini sudah menyimpang dari pokok persoalan.3
(Sampai sini perkataan As-Suyuthi)
Jawaban. Syubhat diatas dapat dijawab dari berbagai sisi.
Sisi Pertama. Pada awal jawabannya, Ibnu Hajar dengan terus terang mengatakan bahwa pada dasarnya peringatan Maulid itu adalah BID’AH karena dalam 3 abad pertama Islam, tidak seorangun ulama salaf yang melakukannya.
Jawaban ini sebenarnya cukup untuk mencela peringatan maulid, karena jika peringatan Maulid itu baik, tentu sudah dilakukan oleh para shahabat, tabi’in dan para imam sesudahnya.
Sisi Kedua. Takhrij Ibnu Hajar dalam fatwa-fatwanya tentang peringatan Maulid yang didasarkan pada hadits tentang puasa AsySyura adalah TIDAK PAS, karena itu (adalah) persoalan yang berbeda dan tidak mungkin disatukan.
Pada awal fatwanya, Ibnu Hajar berkata bahwa tidak seorangpun ulama salaf dari 3 abad pertama yang mengadakan peringatan Maulid. Jika para salafushsholih tidak mengadakan peringatan Maulid berdasarkan pemahaman nash yang difahami orang-orang yang sesudahnya, maka pemahaman mereka (orang-orang sesudah para salaf) itu, tidak bisa disebut pemahaman yang benar, karena jika pemahaman itu benar, tentu tidak bertentangan dengan pemaham salafussholih.
Dalil tentang puasa Asy Syura tidak tepat bila digunakan untuk dalil peringatan Maulid, karena jika itu bisa dijadikan dalil, tentu para salafusholih melakukannya. Dengan demikian istimbath (kesimpulan) Ibnu Hajar tentang bolehnya peringatan Maulid Nabi dari hadits tentang puasa AsySyura, bertentangan dengan ijma’ (kesepakatan) para salaf, baik dari sisi pemahaman maupun praktisnya.
Segala sesutu yang bertentangan dengan ijma’ mereka adalah SALAH, karena mereka tidak membuat kesepakatan kecuali dengan petunjuk.4 AsySyatibi rahimahullahu telah memaparkan masalah ini dalam bukunya Al Muwafaqaat fi Ushul Al Ahkaam.5
Sisi Ketiga. Membolehkan peringatan Maulid dengan dalil puasa AsySyura merupakan pembebanan ibadah yang tertolak, karena ibadah harus didasarkan pada syariat dan ittiba’ (mengikuti dalil / perintah Allah dan Rasul-Nya), bukan pada beda pendapat, istihsan (anggapan / dugaan baik) dan bid’ah.
Sisi Keempat. Puasa AsySyura telah dilakukan Nabi Shalallahu alaihi wa sallam dan disunnahkan, lain halnya dengan peringatan Maulid dan perayaannya. Nabi Shalallahu alaihi wa sallam tidak melakukannya dan tidak menyunahkannya.
Seandainya dalam hal ini ada sisi kebaikannya bagi umat, tentu beliau telah menjelaskannya kepada umatnya, karena tidak ada kebaikan kecuali semuanya telah dijelaskan dan disunnahkan, sebaliknya tidak ada kejelekan kecuali semuanya telah dilarang dan diingatkan. Bid’ah termasuk kejelekan yang dilarang dan diingatkan. Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Jauhilah kalian setiap yang perkara yang baru, karena setiap perkara baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat. ” (Mutafaq alaihi)
“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, sejelek-jelek perkara dalah yang baru, dan setiap perkara yang baru, setiap bid’ah adalah sesat. ”6
Catatan Kaki
1. Sumber: ebook Trilogi Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam [↩]

2. Diriwayatkan oleh Bukhari dalam shahih-nya yang dicetak bersama Fathul Bari IV, 244, kitab Ash Shaum, hadits no. 2004. Diriwayatkan Mulsim dalam Shahih-nya, II, 729, kitab Puasa, hadits 1130. [↩]

3. Al Haawi I/196, buku nomor 24. [↩]

4. Al-Qaul Al-Fashl, hal. 78. [↩]

5. (jilid) III, 41-44, masalah ke-12 bab Al Adillah asy Syar’iyyah [↩]

6. Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnadnya III, 310; Muslim dalam Shahih-nya II, 592, Kitab Al Jum’ah hadits no. 867; An Nasai dalam Sunannya III, 188-189, Kitab Shalat al Idain bab Kaifa al Khutbah”; Ibnu Majah dalam Sunan-nya I, 17, bab Al Muqaddimah, hadits 45. [↩]

(Dari Blog Vila Baitullah)

7.09.2008

HADITS DHA’IF DAN MAUDHU DI BULAN RAJAB

Tidak terasa waktu yang berlalu kembali membawa kita semua pada satu bulan yang termasuk dalam bulan haram yaitu bulan rajab. Maka banyak sekali amalan-amalan yang dilakukan oleh sebagian besar kaum muslimin untuk memuliakan bulan ini yang pada hakikatnya banyak pula dari kaum muslimin tersebut hanya ikut-ikutan melaksanakan amalan tersebut tanpa mengetahui apa yang menjadi dasar dari amalannya tersebut. Disini akan saya kutipkan salah satu qaidah yang disepakati oleh para fuqaha bahwasanya “Setiap ibadah itu pada dasarnya adalah haram sampai ada dalil yang memerintahkannya”. Maka dalam artikel ini ana mencoba untuk menyampaikan sedikit dari apa yang telah saya baca tentang berbagai hadits yang dijadikan sebagian besar kaum muslimin sebagai sandaran untuk beribadah dibulan rajab beserta derajatnya

a. Hadits Pertama

Barangsiapa menghidupkan malam pertama bulan rajab, maka hatinya tidak akan mati ketika hati manusia mati, Allah akan menuangkan kebaikan dari atas kepalanya, dia akan keluar dari dosa-dosanya seperti hari dia dilahirkan oleh ibunya, dan dia akan memberi syafa’at untuk 70.000 orang yang berbuat kesalahan yang telah ditetapkan masuk neraka”

Hadits ini tidak ditemukan perawinya, termasuk dalam kitab khusus mengenai hadits-hadits tentang bulan rajab yang dikarang oleh Ibn Hajar dan ‘Ali al-Qari dan hadits ini menurut Dr Ahmad Luthfi Fathullah dihukumi Maudhu’ (palsu) karena berdasarkan qaidah yang diberikan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani ketika beliau berkata :

Tidak dijumpai hadits shahih yang dapat dijadikan hujjah mengenai keutamaan bulan Rajab, puasa Rajab, puasa pada hari tertentu dibulan Rajab dan beribadah pada malam tertentu dibulan Rajab. Kepastian ini telah ditetapkan sebelumnya oleh al-Imam al-Hafizh Abu Ismail al-Harawi, dia berkata:”Adapun hadits-hadits mengenai Keutamaan bulan Rajab atau Keutamaan puasa Rajab atau puasa pada hari-hari tertentu dibulan Rajab cukuplah jelas dan tebagi menjadi dua bagian yaitu Dha’if (lemah) dan Maudhu’ (Palsu)

Sebelum Ibnu Hajar, Ibnu Qayyim al-Jauziyah juga telah mengisyaratkan qaidah yang disebutkan oleh Ibnu Hajar. Beliau berkata dalam kitab al-Manar al-Munir

“Semua Hadits mengenai puasa Rajab dan Shalat pada beberapa malam dibulan Rajab adalah dusta yang nyata”

Jadi hadits ini dihukumi Maudhu’ (palsu) sebab tidak terdapat dalam beberapa hadits yang dha’if yang disebutkan oleh Ibnu Hajar. Hal ini berarti bahwa hadits ini termasuk hadits palsu meskipun Ibnu Hajar tidak menyebutkannya secara langsung, namun isyarat dan penegasan beliau bahwa selain beberapa hadits dha’if yang disebutkan adalah palsu. Kemudian beliau memberikan sebagian kecil contoh-contoh hadits palsu yang dimaksudkan. Wallahu A’lam

b. Hadits Kedua

“Barangsiapa melakukan shalat setelah maghrib pada malam bulan Rajab sebanyak 20 raka’at, pada setiap raka’at dia membaca Al-Fatihah dan surat al-Ikhlas dan salam sebanyak 20 kali (maksudnya 20 raka’at dikerjakan dua raka’at-dua raka’at), maka Allah Ta’ala akan menjaganya, penghuni rumahnya dan keluarganya darai bencana didunia dan azab diakhirat.”

Ibn al-Jauzi menyebutkan hadits seperti ini diriwayatkan oleh al-Jauzaqani dari Anas ibn Malik dengan lafaz akhirnya :

“Maka Allah Ta’ala akan menjaga dirinya, hartanya, isterinya dan anaknya, diselamatkan dari azab kubur dan dia akan melintasi shirat (jembatan) bagaikan kilat yang menyambar, tanpa dihisab dan tanpa azab.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibn al-Jauzi dalam al-Maudhu’at, jil 2, hal 123; Ibn Qayyim, dalam al-Manar al-Munif, hal 96; al-Suyuthi dalam al-La’ali al-Mashunah jil 2 hal 55-56; ‘Ali al-Qari dalam al-Asrar al-Marfu’ah hal 461; Ibn ‘Arraq dalm Tanzib al-Syari’ah, jil 2, hal 90; al-Syaukani dalam al-Fawaid al-Majmu’ah hal 47. yang masing-masing ulama ini menghukumi hadits ini adalah hadits palsu. Sebabnya seperti yang dikatakan oleh Ibn al-Jauzi kebanyakan dari perawi dalam hadits tersebut adalah Majhul (tidak dikenal). Hadits ini termasuk dalam qaidah yang disebutkan oleh Ibn Hajar diatas.

c. Hadits Ketiga

“Ingatlah bahwa sesungguhnya bulan Rajab itu adalah bulan Allah yang bisu. Maka barangsiapa yang berpuasa pada bulan ini satu hari karena iman dan mengharapkan pahala, maka dia berhak mendapatkan ridha Allah Yang Maha Besar; barangsiapa yang berpuasa pada bulan ini selama dua hari maka para penghuni langit dan bumi tidak dapat menggambarkan kemuliaan yang diperolehnya disisi Allah; barangsiapa berpuasa selama tiga hari maka dia akan selamat dari segala tiga hari, maka dia akan selamat dari segala bencana didunia, azab diakhirat, gila, penyakit kusta/lepra penyakit belang dan fitnah Dajjal; barangsiapa berpuasa selama 7 hari maka 7 pintu neraka Jahannam akan ditutup baginya; barangsiapa yang berpuasa selama 8 hari, maka 8 pintu surga akan dibukakan baginya; barangsiapa yang berpuasa selama 10 hari, maka dia tidak akan meminta apapun kepada Allah melainkan Dia pasti memberinya; barangsiapa berpuasa selama 15 hari, maka Allah Ta’ala akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan mengganti keburukan-keburukannya dengan kebaikan-kebaikan; dan barangsiapa menambah (hari berpuasa), maka Allah menambah pahalanya.”

Hadits ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam al-Syu’ab dan Fadhail al-Auqat dan al-Asfahani dalam al-Targhib. Semuanya melalui Usman ibn Mathar dari ‘Abd al-Ghafur dari ‘Abd al-‘Aziz ibn Sa’id dari bapaknya.

Hadits ini adalah hadits Maudhu’ (palsu). Dalam sanad al-Baihaqi terdapat beberapa perawi yang dha’if, amat dha’if dan seorang yang dituduh meriwayatkan hadits palsu dari perawi yang tsiqah (terpercaya). Diantaranya adalah Usman ibn Mathar, dia dha’if menurut Abu Hatim, al-Nasa’i, al-Dzahabi dan Ibn Hajar. Abu Shalih ‘Abd al-Ghafur al-Waisithi, menurut al-Bukhari mereka meninggalkannya dan haditsnya munkar. Ibn ‘Adiy berkata : Dia dha’if dan haditsnya munkar. Al-Nasa’i berpendapat dia ditinggalkan haditsnya. Ibn Hibban juga menyatakan bahwa dia meriwayatkan hadits-hadits palsu dari perawi yang tsiqah.

Al-Baihaqi yang meriwayatkan hadits ini hanya mengatakan hadits ini dha’if, akan tetapi Ibn Hajar yang diikuti oleh Ibn ‘Arraq menghukuminya dengan palsu.

d. Hadits Keempat

Pada malam Mi’raj, aku melihat sebuah sungai yang airnya lebih manis dari madu, lebih dingin dari es dan lebih wangi dari minyak kesturi. Lalu aku bertanya : Sungai ini untuk siapa, wahai Jibril? Dia menjawab : untuk orang yang membaca shalawat kepadamu pada bulan Rajab”

Hadits ini belum ditemukan perawinya dan terdapat dalam kitab Zubdat al Wa’izhin. Meskipun belum ditemukan perawi hadits ini , namun al-Sakhawai berkata “Tidak ada suatu haditspun mengenai shalawat kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam dibulan Rajab yang Shahih. Berdasarkan kaidah inilah hadits ini dihukumi palsu.

e. Hadits Kelima

Sesungguhnya Rajab adalah bulan Allah, Sya’ban adalah bulanku dan Ramadhan adalah bulan ummatku.”

Hadits ini adalah potongan dari hadits panjang yang diriwayatkan oleh Ibn al Jauzi dalam kitabnya al-Maudhu’’at dari Muhammad ibn Nashir al-Hafizh dari Abu al-Qasim ibn Mandah dari Abu al-Hasan ‘Ali ibn Abdullah ibn Jahdam dari ‘Ali ibn Muhammad ibn Sa’id al-Bashri dari bapaknya dari Khalaf ibn Abdullah dari Humaid al-Tahawil dari Anas.

Hadits ini adalah hukumnya adalah Maudhu’’ (Palsu) karena dalam sanadnya terdapat ‘Ali ibn Abdullah ibn Jahdam al-Suda’i yang lebih dikenal dengan nama Ibn Jahdam, dia dituduh pendusta. Sedangkan beberapa perawi lainnya dalam sanad ini tidak dikenal, bahkan beberapa ulama hadits mengatakan bahwa barangkali mereka belum dilahirkan. Hadits ini juga dihukumi palsu oleh Ibn al-Jauzi, Ibn Qayyim, Ibn Hajar, al-Suyuti dan lain-lain.

f. Hadits Keenam

“Puasa pada hari pertama bulan rajab adalah kaffarat (pelebur dosa) untuk tiga tahun; puasa pada hari ke 2 adalah kaffarat untuk dua tahun; puasa hari ketiga adalah kaffarat untuk satu tahun kemudian setiap harinya (sisanya) adalah kaffarat untuk satu bulan.”

Hadits ini seperti yang diisyaratkan oleh al-Suyuti, diriwayatkan oleh Abu Muhammad al-Khallal dalam Fadhail Rajab dari Ibnu Abbas. Al-Suyuti menghukumi hadits ini dengan dha’if, akan tetapi al-Munawi mengatakan lebuh dari itu, amat dha’if, kemudian beliau menukil pendapat Ibn Shalah dan Ibn Rajab al-Hanbali yang mengisyaratkan palsunya hadits-hadits mengenai puasa rajab. Hadits ini dapat dihukumi palsu berdasarkan qaidah yang disebutkan Ibn Qayyim dan Ibn Hajar

g. Hadits Ketujuh

“Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam tidak berpuasa setelah bulan Ramadhan kecuali pada bulan rajab dan Sya’ban”

Hadits ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam al-Syu’ab dari Abu Hurairah dan al-Baihaqi mengatakan bahwa sanad hadits ini adalah dha’if, beliau juga menambahkan bahwa terdapat banyak riwayat yang berkaitan dengan masalah ini, namun semuanya munkar, dalam sanad-sanadnya terdapat banyak perawi yang majhul dan perawi dha’if

h. Hadits kedelapan

‘Sesungguhnya disurga terdapat sebuah sungai yang dinamakan Rajab yang lebih putih dari susu dan lebih manis dari madu, barangsiapa yang berpuasa selama satu hari dibulan Rajab, maka Allah Subhanahu Wa Ta'ala akan memberinya minum dari sunagi tersebut.

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibn Hibban dalam al-Majrubin dan al-Baihaqi dalam Fadhail al-Auqat dan al-Syairazi dalam al-Alqab seperti yang diisyaratkan oleh al-Suyuti. Kesemuanya dari Anas. Hadits ini telah dihukumi palsu oleh beberapa ulama seperti Ibn al-Jauzi, al-Dzahabi dan Ibn Hajar dalam Lisan al-Mizan. Penyebabnya adalah didalam sanad hadits ini terdapat perawi pendusta yaitu Manshur ibn Yazid. Ibn al-Jauzi mengatakan banyak yang tidak diketahui. Akan tetapi al-Suyuti dan Ibn Hajar dalam kitab Tahyin al-‘Ajab hanya mendhaifkan hadits ini, berbeda dengan hukuman beliau dalam kitab Lisan al-Mizan. Beliau berkata ”Isnadnya secara umum adalah dha’if, akan tetapi ia belum sampai menjadikan hadits ini palsu”.

i. Hadits Kesembilan

Setiap orang akan kelaparan pada hari kiamat kecuali para nabi dan keluarga mereka serta orng-orang yang berpuasa pada bulan Rajab, Sya’ban dan Ramadhan, maka sesungguhnya mereka ini dalam keadaan kenyang, mereka tidak merasakan lapar dan haus sama sekali.”

Hadits dengan lafaz seperti ini belum dapat ditemukan dan hanya terdapat dalam kitab Zubdat al Wa’izhin. Hadits ini boleh dihukumi palsu berdasarkan qaidah yang disebutkan oleh Ibn Hajar dan Ibn Qayyim

Demikianlah beberapa hadits yang berkenaan dengan keutamaan bulan Rajab dan masih ada banyak lagi hadits-hadits dha’if dan palsu yang bertebaran tentang bulan Rajab yang belum ana temukan. Semoga dengan mengetahui hadits-hadits ini dapat menghindarkan kita dari beramal yang sia-sia dan tertolak

Wallahu A’lam bishshowab

(Semua Hadits yang saya tuliskan ini saya kutipkan dari buku HADITS-HADITS LEMAH & PALSU DALAM KITAB DURRATUN NASHIHIN yang ditulis oleh Dr Ahmad Luthfi Fathullah MA)

7.08.2008

HADITS DHAIF SEPUTAR RAMADHAN

Kami menilai perlunya dibawakan pasal ini pada kitab kami, karena adanya sesuatu yang teramat penting yang tidak diragukan lagi sebagai peringatan bagi manusia, dan sebagai penegasan terhadap kebenaran, maka kami katakan :

Sesungguhnya Allah Ta'ala telah menetapkan sunnah Nabi secara adil, (untuk) memusnahkan penyimpangan orang-orang sesat dari sunnah, dan mematahkan ta'wilan para pendusta dari sunnah dan menyingkap kepalsuan para pemalsu sunnah.

Sejak bertahun-tahun sunnah telah tercampur dengan hadits-hadits yang dhaif, dusta, diada-adakan atau lainnya. Hal ini telah diterangkan oleh para imam terdahulu dan ulama salaf dengan penjelasan dan keterangan yang sempurna.


Orang yang melihat dunia para penulis dan para pemberi nasehat akan melihat bahwa mereka -kecuali yang diberi rahmat oleh Allah- tidak memperdulikan masalah yang mulia ini walau sedikit perhatianpun walaupun banyak sumber ilmu yang memuat keterangan shahih dan menyingkap yang bathil.

Maksud kami bukan membahas dengan detail masalah ini, serta pengaruh yang akan terjadi pada ilmu dan manusia, tapi akan kita cukupkan sebagian contoh yang baru masuk dan masyhur dikalangan manusia dengan sangat masyhurnya, hingga tidaklah engkau membaca makalah atau mendengar nasehat kecuali hadits-hadits ini -sangat disesalkan- menduduki kedudukan tinggi. (Ini semua) sebagai pengamalan hadits: "Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat ..."
22.1

dan sabda beliau: "Agama itu nasehat"
22.2

Maka kami katakan wabillahi taufik:

Sesungguhnya hadits-hadits yang tersebar di masyarakat banyak sekali, hingga mereka hampir tidak pernah menyebutkan hadits shahih -walau banyak- yang bisa menghentikan mereka dari menyebut hadits dhaif.

Semoga Allah merahmati Al-Imam Abdullah bin Mubarak yang mengatakan:

"(Menyebutkan) hadits shahih itu menyibukkan (diri) dari yang dhaifnya".

Jadikanlah Imam ini sebagai suri tauladan kita, jadikanlah ilmu shahih yang telah tersaring sebagai jalan (hidup kita).

Dan (yang termasuk) dari hadits-hadits yang tersebar digunakan (sebagai dalil) di kalangan manusia di bulan Ramadhan, diantaranya.

22.1 Pertama

"Artinya : Kalaulah seandainya kaum muslimin tahu apa yang ada di dalam Ramadhan, niscaya umatku akan berangan-angan agar satu tahun Ramadhan seluruhnya. Sesungguhnya surga dihiasi untuk Ramadhan dari awal tahun kepada tahun berikutnya ...." Hingga akhir hadits ini.

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (no.886) dan Ibnul Jauzi di dalam Kitabul Maudhuat (2/188-189) dan Abu Ya'la di dalam Musnad-nya sebagaimana pada Al-Muthalibul 'Aaliyah (Bab/A-B/tulisan tangan) dari jalan Jabir bin Burdah dari Abu Mas'ud al-Ghifari.

Hadits ini maudhu' (palsu), penyakitnya pada Jabir bin Ayyub, biografinya ada pada Ibnu Hajar di dalam Lisanul Mizan (2/101) dan beliau berkata : "Masyhur dengan kelemahannya". Juga dinukilkan perkataan Abu Nua'im, "Dia suka memalsukan hadits", dan dari Bukhari, berkata, "Mungkarul hadits" dan dari An-Nasa'i, "Matruk " (ditinggalkan) haditsnya".

Ibnul Jauzi menghukumi hadits ini sebagai hadits palsu, dan Ibnu Khuzaimah berkata serta meriwayatkannya, "Jika haditsnya shahih, karena dalam hatiku ada keraguan pada Jarir bin Ayyub Al-Bajali".

22.2 Kedua

"Artinya :Wahai manusia, sungguh bulan yang agung telah datang (menaungi) kalian, bulan yang di dalamnya terdapat suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan, Allah menjadikan puasa (pada bulan itu) sebagai satu kewajiban dan menjadikan shalat malamnya sebagai amalan sunnah. Barangsiapa yang mendekatkan diri pada bulan tersebut dengan (mengharapkan) suatu kebaikan, maka sama (nilainya) dengan menunaikan perkara yang wajib pada bulan yang lain .... Inilah bulan yang awalnya adalah rahmat, pertengahannya ampunan dan akhirnya adalah merupakan pembebasan dari api neraka ...." sampai selesai.

Hadits ini juga panjang, kami cukupkan dengan membawakan perkataan ulama yang paling masyhur. Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (1887) dan Al-Muhamili di dalam Amalinya (293) dan Al-Asbahani dalam At-Targhib (q/178, b/tulisan tangan) dari jalan Ali bin Zaid Jad'an dari Sa'id bin Al-Musayyib dari Salman.

Hadits ini sanadnya Dhaif, karena lemahnya Ali bin Zaid, berkata Ibnu Sa'ad, Di dalamnya ada kelemahan dan jangang berhujjah dengannya, berkata Imam Ahmad bin Hanbal, Tidak kuat. Berkata Ibnu Ma'in, Dha'if. Berkata Ibnu Abi Khaitsamah, Lemah di segala penjuru. Dan berkata Ibnu Khuzaimah, "Jangan berhujjah dengan hadits ini, karena jelek hafalannya." Demikian di dalam Tahdzibut Tahdzib (7/322-323).

Dan Ibnu Khuzaimah berkata setelah meriwayatkan hadits ini, Jika benar kabarnya. berkata Ibnu Hajar di dalam Al-Athraf, Sumbernya pada Ali bin Zaid bin Jad'an, dan dia lemah, sebagaimana hal ini dinukilkan oleh Imam As-Suyuthi di dalam Jami'ul Jawami (no. 23714 -tertib urutannya).

Dan Ibnu Abi Hatim menukilkan dari bapaknya di dalam Illalul Hadits (I/249), hadits yang Mungkar

22.3 Ketiga

"Artinya : Berpuasalah, niscaya kalian akan sehat"

Hadits tersebut merupakan potongan dari hadits riwayat Ibnu Adi di dalam Al-Kamil (7/2521) dari jalan Nahsyal bin Sa'id, dari Ad-Dhahak dari Ibu Abbas. Nashsyal (termasuk) yang ditinggal (karena) dia pendusta dan Ad-Dhahhak tidak mendengar dari Ibnu Abbas.

Diriwayatkan oleh At-Thabrani di dalam Al-Ausath (1/q 69/Al-Majma'ul Bahrain) dan Abu Nu'aim di dalam At-Thibun Nabawiy dari jalan Muhammad bin Sulaiman bin Abi Dawud, dari Zuhair bin Muhammad, dari Suhail bin Abi Shalih dari Abu Hurairah.

Dan sanad hadits ini lemah. Berkata Abu Bakar Al-Atsram,

Aku mendengar Imam Ahmad -dan beliau menyebutkan riwayat orang-orang Syam dari Zuhair bin Muhammad- berkata, "Mereka meriwayatkan darinya (Zuhair,-pent) beberapa hadits mereka (orang-orang Syam, -pent) yang dhoif itu".

Ibnu Abi Hatim berkata, "Hafalannya jelek dan hadits dia dari Syam lebih mungkar daripada haditsnya (yang berasal) dari Irak, karena jeleknya hafalan dia". Al-Ajalaiy berkata. "Hadits ini tidak membuatku kagum", demikianlah yang terdapat pada Tahdzibul Kamal (9/417).

Aku katakan:

Dan Muhammad bin Sulaiman Syaami, biografinya (disebutkan) pada Tarikh Damasqus (15/q 386-tulisan tangan) maka riwayatnya dari Zuhair sebagaimana di naskhan oleh para Imam adalah mungkar, dan hadits ini darinya.

22.4 Keempat

"Artinya : Barangsiapa yang berbuka puasa satu hari pada bulan Ramadhan tanpa ada sebab dan tidak pula karena sakit maka puasa satu tahun pun tidak akan dapat mencukupinya walaupun ia berpuasa pada satu tahun penuh"

Hadits ini diriwayatkan Bukhari dengan mu'allaq dalam shahih-nya (4/160-Fathul Bari) tanpa sanad.

Ibnu Khuzaimah telah memasukkan hadits tersebut di dalam Shahih-nya (19870), At-Tirmidzi (723), Abu Dawud (2397), Ibnu Majah (1672) dan Nasa'i di dalam Al-Kubra sebagaimana pada Tuhfatul Asyraaf (10/373), Baihaqi (4/228) dan Ibnu Hajar dalam Taghliqut Ta'liq (3/170) dari jalan Abil Muthawwas dari bapaknya dari Abu Hurairah.

Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari (4/161):

"Dalam hadits ini ada perselisihan tentang Hubaib bin Abi Tsabit dengan perselisihan yang banyak, hingga kesimpulannya ada tiga penyakit : idhthirah (goncang), tidak diketahui keadaan Abil Muthawwas dan diragukan pendengaran bapak beliau dari Abu Hurairah".

Ibnu Khuzaimah berkata setelah meriwayatkannya:

Jika khabarnya shahih, karena aku tidak mengenal Abil Muthawwas dan tidak pula bapaknya, hingga hadits ini dhaif juga.

Wa ba'du: Inilah empat hadits yang didhaifkan oleh para ulama dan di lemahkan oleh para Imam, namun walaupun demikian kita (sering) mendengar dan membacanya pada hari-hari di bulan Ramadhan yang diberkahi khususnya dan selain pada bulan itu pada umumnya.
22.3

Tidak menutup kemungkinan bahwa sebagian hadits-hadits ini memiliki makna-makna yang benar, yang sesuai dengan syari'at kita yang lurus baik dari Al-Qur'an maupun Sunnah, akan tetapi (hadits-hadits ini) sendiri tidak boleh kita sandarkan kepada Rasulullah صلی الله عليه وسلم, dan terlebih lagi -segala puji hanya bagi Allah- umat ini telah Allah khususkan dengan sanad dibandingkan dengan umat-umat yang lain.

Dengan sanad dapat diketahui mana hadits yang dapat diterima dan mana yang harus ditolak, membedakan yang shahih dari yang jelek. Ilmu sanad adalah ilmu yang paling rumit, telah benar dan baik orang yang menamainya: "Ucapan yang dinukil dan neraca pembenaran khabar".


Dikutip dari buku Sifat Puasa Nabi صلی الله عليه وسلم

-Hadith-Hadits Dhaif Yang Tersebar Seputar Ramadhan-

Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly dan Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid

4.07.2008

Bereskan Pakaian Sebelum Shalat

Pakaian merupakan nikmat yang Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berikan kepada para hamba-Nya. Namun terkadang ada sebagian di antara kaum muslimin salah dalam membuat pakaian dan salah dalam memakai pakaian , sehingga mereka terkadang memakai pakaian yang seyogyanya belum dipakai, eh malah dipakai. Pakaian yang mestinya dipakai oleh anak kecil, duh malah dipakai oleh orang dewasa. Oleh karena itu, kita akan menyaksikan beberapa kesalahan berikut:


* Shalat dengan Memakai Pakaian Ketat yang Membentuk Tubuh, dan Aurat

Memakai pakaian yang ketat dan sempit, dibenci menurut syari’at Islam. Bahkan daapt menimbulkan mudharat dari sisi kesehatan. Sehingga jika memakai pakaian yang ketat, akan menggambarkan kedua auratnya atau salah satunya, dan sebagian mereka sulit untuk melakukan sujud. Maka dari sisi ini saja sudah dapat dipastikan keharaman memakai pakaian seperti ini. Lebih memperihatinkan lagi, sebagian orang yang berpenampilan dengan pakaian ketat, jarang melaksanakan shalat, bahkan ada yang tidak melaksanakan shalat sama sekali.
Al-HafizhIbnuHajar dalam Fathul Bari (1/476) menceritakan dari Ibnu Asyhab tentang orang yang memendekkan celananya dalam shalat, padahal dia mampu memanjangkan celananya, ia berkata, ”Dia mengulangi shalat pada waktu itu, kecuali jika pakaiannya tebal, dan sebagian ulama’ Hanafiyyah memakruhkannya”. Padahal keadaan cela
na mereka pada waktu itu bentuknya sangatlah lebar, maka apa lagi dengan celana [pantalon] yang sempit sekali.
Al-Allamah Albany-rahimahullah- berkata, ”Pada celana [pantalon] itu terdapat dua musibah. MusibahPertama, Pemakainya menyerupai orang kafir. Sedangkan orang muslim dahulu mengenakan celana yang lebar dan, longgar. Sebagian orang Suriah dan Lebanon masih mengenakannya. Kaum muslimin tidak mengenal celana [pantalon] ini, kecuali tatkala mereka dijajah. Sehingga tatkala penjajah itu hengkang, mereka meninggalkan perilaku-perilaku yang buruk, dan kaum muslimin pun mengikutinya disebabkan ketololan dan kebodohan mereka. Musibah kedua, Celana [pantalon] ini membentuk aurat, sedangkan aurat laki-laki batasannya adalah dari lutut sampai ke pusar. Padahal orang yang sedang shalat diwajibkan agar keadaaannya jauh dari memaksiati Allah, karena dia sedang sujud kepada-Nya. Maka Anda akan lihat kedua pantatnya terbentuk dengan jelas!? Bahkan, anggota tubuhnya yang ada di antara keduanya [kemaluan-pen.] terbentuk!! Bagaimana bisa orang yang demikian ini melakukan shalat mengahadap Rabb semesta Alam?? Yang sangat mengherankan, mayoritas pemuda-pemuda yang menamakan dirinya remaja muslim, mereka mengingkari wanita-wanita yang berpakaian ketat,karena membentuk tubuhnya. Sementara pemuda ini sendiri lupa dirinya, karena pemuda ini sendiri ternyata terjatuh pada kemungkaran yang dia ingkari itu. Tidak ada perbedaaan antara seorang wanita yang berpakaian ketat dan seorang lelaki yang memakai pantalon, karena keduanya sama-sama membentuk kedua pantatnya. Sedangkan pantat laki-laki dan pantat perempuan adalah aurat, keduanya sama hukumnya. Maka wajib bagi para pemuda untuk mengetahui musibah yang telah menimpa diri-diri mereka sendiri, kecuali orang-orang yang dirahmati Allah dan jumlah mereka ini sedikit sekali. [Lihat Al-Qaul Al-Mubin fi Akhtha’ Al-Mushallin (20-21)]
Antara laki-laki dan wanita, sama-sama terjerumus dalam kesalahan tersebut. Akan tetapi di zaman kita sekarang ini, kaum lelaki yang paling banyak yang terjerumus ke dalamnya ketika shalat, sebab kaum laki-laki tidaklah melaksanakan shalat, kecuali dengan mengenakan pantalon dan banyak dari mereka celananya sangat ketat -Laa Haula Wala Quwwata Illa Billah-.
Padahal seorang sahabat pernah berkata,
نَهَى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُصَلِّيَ الرَّجُلُ فِيْ سَرَاوِيْلَ وَلَيْسَ عَلَيْهِ رِدَاءٌ
“Rasulullah telah melarang seorang lelaki yang shalat dengan menganakan sirwal [celana longgar-pen.] yang tidak ada di atasnya ridaa’ (pakaian)”. [HR. Abu Dawud (no. 636) dan Al-Hakim. Hadits ini hasan sebagaimana dalam Shahih Al-Jami’ (6830) karya Syaikh Al-Albaniy]
Adapun jika pantalon itu lebar (tidak sempit), maka shalat dengan pakaian itu sah. Tetapi yang lebih utama, selain memakai pakaian itu, anggota badan antara lutut dan pusar juga ditutup dengan gamis panjang. Namun tentunya gamis tersebut di atas mata kaki bagi laki-laki, karena menutupi aurat yang demikian itulah yang sempurna.

* Shalat dengan Memakai Pakaian Tipis dan Transparan

Demikian pula dimakruhkan shalat dengan dengan pakaian ketat yang bisa membentuk aurat dan membentuk sebagian tubuh. Juga tidak bolehnya shalat dengan pakaian transparan yang dapat memperlihatkan badan yang berada dibalik kain tersebut. Sebagian orang ter-fitnah dengan memakai pakaian yang dinamakan “stil” dengan maksud menampakkan anggota badannya yang dinilai oleh syari’at sebagai aurat. Mereka menampakkannya secara sengaja. Akibatnya, mereka telah menjadi tawanan dan budak-budak syahwat, adat dan tradisi. Didukung pula keberadaan da’i-da’i yang membolehkan pakaian seperti itu, justru memotivasi mereka agar memakainya. Kemudian menetapkan keutamaannnya bagi mereka atas mode yang lainnya dengan slogan “mode tersebut adalah mode terkini yang relevan dengan zaman” berdasarkan pemkiran seorang reformis kefasikan dan kedurhakaan. [Lihat Al-Qaul Al-Mubin(hal. 22)]
Termasuk di antara kesalahan dalam memakai pakaian tipis dan transparan:

* Shalat dengan Memakai Pakaian Tidur (Piyama)

Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu- berkata,
”Seseorang telah berdiri mengahadap Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, lalu dia bertanya kepadanya tentang shalat memakai pakaian satu lembar, maka beliau berkata,
أَوْ كُلُّكُمْ يَجِدُ ثَوْبَيْنِ ؟!
”Apak ah kalian semua mendapati dua lembar pakaian?!”
Kemudian lelaki itu bertanya kepada Umar. Maka Umar berkata,”Jika Allah memberi keleluasaan, maka hendaklah kalian memberi keleluasaan; seseorang shalat dengan memakai pakaian jubah dan sarung,dengan jubah dengan pakaian luar, dengan celana panjang dan gamis”. [HR. Al-Bukhariydalam Shahih-nya (365), Malik dalam Al-Muwaththa’ (1/140/31), Muslim dalam Shahih-nya (515), Abu Dawud dalam As-Sunan (625), An-Nasa‘iy dalam Al-Mujtaba (2/69), Ibnu Majah dalam As-Sunan (1047), dan lainnya]
Abdullah bin umar pernah melihat Nafi’ sedang shalat sendirian dengan memakai pakaian satu lembar, maka Ibnu Umar pun bertanya, ”Bukankah saya telah memberikan kepadamu dua lembar pakaian?” Nafi’ menjawab, “Ya, betul”. Ibnu Umar berkata, ”Apakah engkau mau keluar ke pasar dengan memakai pakaian satu lembar?” Nafi’ berkata, ”Tidak”. Ibnu Umar berkata,
فَاللهُ أَحَقُّ أَنْ يُتَجَمَّلَ لَهُ
”Maka Allah lebih berhak agar seseorang berhias dihadapan-Nya”. [HR. Ath-Thahawiy dalamSyarhul Ma’any Atsar(1/377-378)]
Demikianlah orang yang shalat dengan pakaian tidur, ia tak malu memakai pakaian tidurnya yang kadang tipis dan ketat di hadapan Allah. Namun di lain sisi, dia malu di hadapan manusia saat memakai pakaian seperti itu ke pasar!
Ibnu Abdil Barr-rahimahullah- berkata dalam At-Tamhid (6/369), “Sesungguhnya ahli ilmu menganjurkan seseorang memakai beberapa pakaian, memperindah pakaiannya, keharumannya, dan bersiwak ketika hendak shalat semampunya”.
Sesungguhnya para fuqaha berkata ketika membahas syarat-syarat sahnya shalat pada pembahasan menutupi aurat, “Dalam menutupi aurat disyaratkan memakai pakaian yang tebal. Jadi, pakaian yang transparan yang memperlihatkan warna kulit, tidak mencukupi. [Lihat Al-Mughny (1/617) dan Nihayah Al-Muhtaaj (2/8) dan Al-Libas wa Az-Zinah fii Asy-syariah Al-Islamiyyah (hal. 99), I’anah Ath-Thalibin (1/113), Hasyiyah Qalyubiy wa Umairah, dan Al-Mughni (1/617)]
Laki-laki dan perempuan wajib berpakaian yang demikian, baik dia shalat sendiri atau pun berjama’ah. Setiap orang yang membuka auratnya dalam keadaan dia mampu menutupinya, maka shalatnya tidak sah. Meskipun dia shalat sendirian di tempat yang gelap, karena adanya ijma’ ulama tentang wajibnya menutupi aurat sebagaimana Allah berfirman,
يَا بَنِي آَدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
”Hai Anak adam, pakailah pakaianmu yang indah disetiap memasuki masjid.” (QS. Al A’raf : 31)
Kata “az-zinah” (perhiasan) disini adalah pakaian; “masjid” adalah shalat. [Lihat Ad-Din Al-Khalish (2/101) At-Tamhid (6/379)]

* Shalat dengan Pakaian Tipis yang Menampakkan Warna Kulit

Ucapan Umar yang lalu menjelaskan tentang pakaian yang paling banyak dipakai untuk menutupi badan dan menggabungkan satu pakaian dengan pakaian yang lain. Beliau tidak bermaksud membatasi satu jenis pakaian. Bahkan beliau menyamakan dengan sesuatu yang bisa menggantikannnya. Atsar dari Umar itu juga menunjukkan wajibnya menutupi aurat dalam shalat. Dengan demikian, shalat dengan memakai pakaian dua lembar lebih utama daripada memakai pakaian satu lembar.
Al Qadhi’ Iyadh menjelaskan bahwa tidak adanya perselisihan dalam masalah ini. [Lihat Fath Al-Bari (1/476) dan Al-Majmu’ (3/181)]
Al-Imam syafi’iy -rahimahullah- berkata, ”Jika seseorang shalat dengan mengenakan gamis yang menampakkan auratnya, maka pakaian itu tidak mencukupi shalatnya. [Lihat Al-Umm (1/78)]
Peringatan: Aurat perempuan harus lebih tertutup daripada laki-laki!
Imam Syafi’iy-rahimahullah- juga berkata, ”Jika seseorang perempuan shalat hanya dengan memakai pakian dan tutup kepala,yang pakaian itu mensifatkan dirinya, maka lebih saya cintai dia tidak melakukan shalat, kecuali dengan mengenakan jilbab di atasnya serta merenggangkan jilbabnya dari dirinya, supaya tidak nampak seluruh tubuh atau badannya”. [Lihat Al-Umm (1/78)]
Jadi, wajib bagi seorang wanita tidak shalat dengan memakai pakaian yang terbuat dari bahan nylon dan chyfon, sebab dengan memakai pakaian transparan, berarti dia membuka auratnya, meskipun itu lebar dan menutupi seluruh badannya.
Dalilnya, Nabi Muhammad -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
سَيَكُوْنُ فِيْ آخِرِ أُمَّتِيْ نِسِاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ…
”Di akhir umatku akan muncul wanita yang berpakaian, akan tetapi telanjang…..” . [HR. Malik dalam Al-Muwaththo’ (2128) dan Muslim dalam Shohih-nya (2128)]
Ibnu Abdil Barr-rahimahullah- berkata, ”Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- memaksudkan para wanita yang memakai pakaian yang menampakkan (bentuk tubuh) lagi tipis, namun tidak menutupi. Jadi, mereka dinamakan berpakaian, akan tetapi pada hakekatnya telanjang”. [Lihat Tanwir Al-Hawalik (3/103)]
Sebagian fuqaha’ menyebutkan, “Pakaian yang tipis di awal kita memandang, maka ada tidaknya pakaian itu sama. Berdasarkan hal itu, maka tak ada shalat bagi pemakainya”. [Lihat Bulghah As-Salik (1/104)]
Sebagian dari mereka menjelaskan, bahwa pakaian para salaf tidak membentuk auratnya, entah karena transparannya atau hal-hal yang lainnya, atau karena sempitnya. [Lihat Syarh Ad-Durar ala Mukhtasar Khalil (1/42)]
Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 24 Tahun I. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas.

Wasiat Nabawi yang Penting bagi Anak-Anak

Oleh: Asy Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Aku berada di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada suatu hari. Beliau berkata kepadaku, “Wahai anak, sesungguhnya aku akan ajari engkau beberapa kalimat:
1.
اِحْفَظِ اللَّهَ يَحْفَظْكَ،
“Jagalah Allah niscaya Allah menjagamu”
Yaitu dengan melaksanakan perintah-perintah Allah serta menjauhi larangan-larangan-Nya, Allah akan menjaga dunia dan akhiratmu.

2.
اِحْفَظِ اللَّهَ تَجِدُهُ تُجَاهَكَ
“Jagalah Allah, niscaya engkau akan dapati Allah di hadapanmu”
Jagalah batasan-batasan dan hak-hak Allah. Engkau akan mendapati Allah memberikan taufiq kepadamu serta membantumu.

3.
إِذَا سَأَلْتَ فَسْأَلِ اللَّهَ ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ
“Jika engkau meminta, mintalah kepada Allah. Jika engkau meminta bantuan, minta bantuanlah kepada Allah”.
Maksudnya, jika engkau meminta bantuan dalam perkara dunia maupun akhirat, maka mintalah kepada Allah. Lebih-lebih dalam perkara yang tidak dimampui melainkan hanya oleh Allah saja, seperti menyembuhkan orang sakit, meminta rizki, maka ini adalah perkara yang khusus bagi Allah saja.
(Hal ini telah disebutkan oleh An-Nawawi dan Al-Haitami)

4.
وَاعْلَمْ أَنَّ اْلأُمَّةَ لَوِ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوْكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوْكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ لَكَ, وَإِنِ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوْكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوْكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَيْكَ
“Ketahuilah, meskipun seluruh umat berkumpul untuk memberikan satu pemberian yang bermanfaat kepadamu, tidak akan bermanfaat hal itu bagimu, kecuali jika itu telah ditetapkan Allah. Dan jika mereka berkumpul untuk memudharatkanmu dengan sesuatu, maka mereka tidak dapat memudharatkanmu kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tentukan”
Maksudnya adalah beriman kepada takdir yang telah Allah tulis terhadap manusia, baik maupun jeleknya.

5.
رُفِعَتِ اْلأَقْلاَمُ وَجَفَّتِ الصُّحُفُ
“Pena-pena telah diangkat dan lembar-lembar telah kering”
(HR. At-Tirmidzi dan beliau berkata hadits ini hasan shahih).
Maksudnya, tawakkal kepada Allah disertai dengan mengambil sebab, karena Rasulullah bersabda kepada pemilik unta, “Ikatlah untamu kemudian bertawakkallah”. (Hadits hasan, riwayat At-Tirmidzi).

Pada riwayat selain At-Tirmidzi:
6. “Kenalilah Allah di masa lapang, maka Allah akan mengenalmu di masa sulit”.
Tunaikanlah hak-hak Allah dan hak-hak manusia di kala lapang, maka Allah akan menyelamatkanmu di waktu kesempitan.

7. “Ketahuilah bahwa apa yang (ditakdirkan) luput darimu tidak akan menimpamu dan apa yang (ditakdirkan) menimpamu tidak akan luput darimu”
Jika Allah menahan sesuatu darimu, maka tidak akan sampai padamu. Dan apabila Allah memberimu sesuatu, maka tidak akan ada yang bisa menahannya.

8. “Ketahuilah bahwa pertolongan menyertai kesabaran”
Pertolongan untuk menghadapi musuh dan terhadap diri sendiri itu sesuai dengan kesabaran.

9. “Sesungguhnya ada kelapangan bersama kesusahan”
Kesusahan yang menimpa seorang yang beriman akan disusul oleh kelapangan setelahnya.

10. “Dan sesungguhnya bersama dengan kesulitan itu ada kemudahan”
(Dihasankan oleh pentahqiq Kitab Jami’ul Ushul dengan penguat-penguat hadits tersebut).
Kesukaran yang dirasakan oleh seorang muslim, maka akan datang setelahnya satu atau dua kemudahan.

Faedah Hadits
1. Cintanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada anak-anak. Beliau memboncengkan Ibnu Abbas di belakang beliau. Beliau juga memanggil Ibnu Abbas dengan ucapan, “Wahai anak” agar Ibnu Abbas memperhatikan apa yang beliau ucapkan.

2. Memerintahkan anak-anak untuk taat kepada Allah dan menjauh dari maksiat kepada-Nya serta membawa kebahagiaan kepada mereka di dunia dan akhirat.

3. Allah akan memenangkan orang yang beriman di saat sempit jika mereka menunaikan hak Allah dan manusia di masa lapang, sehat dan kaya.

4. Menanamkan kepada jiwa anak-anak aqidah tauhid dengan meminta dan beristi’anah (meminta bantuan-pent) kepada Allah ta’ala semata. Ini merupakan kewajiban orang tua dan pendidik.

5. Menanamkan kepada anak aqidah iman kepada taqdir, yang baik maupun yang jelek dan ini merupakan rukun iman.

6. Mendidik anak agar optimis dalam menghadapi hidup mereka dengan keberanian dan penuh harapan supaya mereka menjadi sosok-sosok yang bermanfaat bagi umat.
“Ketahuilah bahwa pertolongan menyertai kesabaran, sesungguhnya ada kelapangan bersama kesusahan dan sesungguhnya bersama dengan kesulitan itu ada kemudahan”

(Sumber http://ulamasunnah.wordpress.com dari buku Bagaimana Mendidik Putra-Putri Kita karya Asy Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, penerjemah: Abu Umar Al Bankawy, muroja’ah: Al Ustadz Ali Basuki, Lc)

3.24.2008

TAHAPAN-TAHAPAN PENSUCIAN HATI

Oleh Ustad Harjani Hefni LC MA
LIMA ALASAN MEMBERSIHKAN HATI

ALASAN PERTAMA

Penyebab timbulnya kotoran hati dan jiwa adalah syirik dan turunannya.Dan syirik ini bergentayangan di sekitar kita. Syirik adalah Najis, gelap, dan kotor.

Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلاَ يَقْرَبُواْ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَـذَا وَإِنْ خِفْتُمْ عَيْلَةً فَسَوْفَ يُغْنِيكُمُ اللّهُ مِن فَضْلِهِ إِن شَاء

إِنَّ اللّهَ عَلِيمٌ حَكِيمٌ{التوبة :28

n “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis[1], maka janganlah mereka mendekati Masjidilharam[2] sesudah tahun ini[3]. dan jika kamu khawatir menjadi miskin[4], maka Allah nanti akan memberimu kekayaan kepadamu dari karuniaNya, jika dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

n [1] Maksudnya: jiwa musyrikin itu dianggap kotor, Karena menyekutukan Allah.

n [2] Maksudnya: tidak dibenarkan mengerjakan haji dan umrah. menurut pendapat sebagian Mufassirin yang lain, ialah kaum musyrikin itu tidak boleh masuk daerah Haram baik untuk keperluan haji dan umrah atau untuk keperluan yang lain.

n [3] maksudnya setelah tahun 9 Hijrah.

n [4] Karena tidak membenarkan orang musyrikin mengerjakan haji dan umrah, Karena pencaharian orang-orang muslim boleh jadi berkurang.

Allah Berfirman:

وَمَثلُ كَلِمَةٍ خَبِيثَةٍ كَشَجَرَةٍ خَبِيثَةٍ اجْتُثَّتْ مِن فَوْقِ الأَرْضِ

مَا لَهَا مِن قَرَارٍ) إبراهيم:26 (

“Dan perumpamaan kalimat yang buruk[1] seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun.”

n [1] termasuk dalam Kalimat yang buruk ialah kalimat kufur, syirik, segala perkataan yang tidak benar dan perbuatan yang tidak baik.

Pohon syirik akan menumbuhkan ranting-ranting yang banyak, seperti :

Organization Chartubudiyah selain kepada Allah,berbagai penyimpangan di jalan kesesatan, akhlak yang rusak.

Untuk diingat!!!

Proyek pertama tazkiyah adalah membersihkan hati dari syirik dan cabang-cabangnya.

ALASAN 2

Hati dan jiwa memiliki potensi masuk ke dalam berbagai kegelapan, seperti : nifaq, kufur, fusuq, bid’ah, bingung, guncang, maksiyat dan dosa.

Allah berfirman:

n هُوَ الَّذِي يُصَلِّي عَلَيْكُمْ وَمَلَائِكَتُهُ لِيُخْرِجَكُم مِّنَ الظُّلُمَاتِ

إِلَى النُّورِ وَكَانَ بِالْمُؤْمِنِينَ رَحِيماً{الأحزاب: 43 (

Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), supaya dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). dan adalah dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.

n Allah berfirman:

اللّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُواْ يُخْرِجُهُم مِّنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّوُرِ وَالَّذِينَ

كَفَرُواْ أَوْلِيَآؤُهُمُ الطَّاغُوتُ يُخْرِجُونَهُم مِّنَ النُّورِ إِلَى الظُّلُمَاتِ أُوْلَـئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ{البقرة:257}

n Allah pelindung orang-orang yang beriman; dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.

Allah berfirman:

مَثَلُهُمْ كَمَثَلِ الَّذِي اسْتَوْقَدَ نَاراً فَلَمَّا أَضَاءتْ مَا حَوْلَهُ ذَهَبَ اللّهُ بِنُورِهِمْ وَتَرَكَهُمْ فِي ظُلُمَاتٍ لاَّ يُبْصِرُونَ{ } صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لاَ يَرْجِعُونَ { البقرة: 17-18}

“Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api[1], Maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat Melihat. Mereka tuli, bisu dan buta[2], Maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar),

n [1] orang-orang munafik itu tidak dapat mengambil manfaat dari petunjuk-petunjuk yang datang dari Allah, Karena sifat-sifat kemunafikkan yang bersemi dalam dada mereka. keadaan mereka digambarkan Allah seperti dalam ayat tersebut di atas.

n [2] walaupun pancaindera mereka sehat mereka dipandang tuli, bisu dan buta oleh Karena tidak dapat menerima kebenaran.

n أَوْ كَظُلُمَاتٍ فِي بَحْرٍ لُّجِّيٍّ يَغْشَاهُ مَوْجٌ مِّن فَوْقِهِ مَوْجٌ مِّن فَوْقِهِ سَحَابٌ ظُلُمَاتٌ بَعْضُهَا فَوْقَ بَعْضٍ إِذَا أَخْرَجَ يَدَهُ لَمْ يَكَدْ يَرَاهَا وَمَن لَّمْ يَجْعَلِ اللَّهُ لَهُ نُوراً فَمَا لَهُ مِن نُّورٍ{ النور: 40}

“Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih-bertindih, apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya, (dan) barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikitpun.”

Keluarnya hati dari berbagai kegelapan menuju cahaya adalah tazkiyah.

ALASAN 3

Jiwa punya berbagai syahawat; inderawi dan maknawi. Inderawi : suka makanan dan minuman; maknawi : balas dendam, suka kemenangan, cinta jabatan dan popularitas, suka kultus diri.

Pemenuhan syahawat yang keluar dari aturan syariat adalah kegelapan, dan pembersihannya dari perilaku yang haram adalah tazkiyah

ALASAN 4

Jiwa dan hati mengalami sakit sebagaimana jasad. Jiwa menderita berbagai penyakit, seperti ujub, sombong, terpedaya, dengki dan curang.

Pembersihannya dari penyakit-penyakit di atas adalah tazkiyah.

ALASAN 5

Jiwa bisa terpengaruh oleh indoktrinasi (talqin), lintasan pikiran dan was-was.

Membebaskan diri dari penyakit-penyakit lingkungan, doktrin sesat, lintasan pikiran dan seterusnya adalah tazkiyah.

TAHAPAN-TAHAPAN PENSUCIAN HATI

1. Tathahhur (Takhliyah), membersihkan diri dari berbagai penyakit yang merusak hati.

2. Tahaqquq (tahliyah), menghiasi diri dengan berbagai amalan yang dapat membersihkan hati.

3. Takhalluq dan iqtida’, membumikan nilai-nilai langit dalam kehidupan sehari-hari




PENYAKIT-PENYAKIT YANG HARUS DIBERSIHKAN

n Kufur, nifaq, kefasikan dan bid’ah

n Kemusyrikan dan riya’

n Cinta kedudukan dan kepemimpinan

n Kedengkian

n Ujub

n Kesombongan

n Kebakhilan

n Keterpedayaan

n Amarah yang dzalim

n Cinta dunia

n Mengikuti hawa nafsu

Allah berfirman :

إِنَّكَ لَا تُسْمِعُ الْمَوْتَى وَلَا تُسْمِعُ الصُّمَّ الدُّعَاءَ إِذَا وَلَّوْا مُدْبِرِينَ (النمل :80)

“Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar dan (tidak pula) menjadikan orang-orang yang tuli mendengar panggilan, apabila mereka telah berpaling membelakang”. (QS.An Naml : 80)

n Takut disantet termasuk syirik?

n Menghilangkan penyakit hati?

n Perbuatan syirk di sekitar masjidil haram, keyakinan terhadap hajar aswad.

n Kalung-kalung, benang-benang, dengan harapan mendatangkan manfaat

n Hati yang mana yang dimaksud?

n Minta pelaris

n Dokter menyembuhkan

n Batu yang diberikan Allah mukjizat

Bagian 1 dari 12 Bab

Template by : Kendhin x-template.blogspot.com