Lihat Kartu Ucapan Lainnya (KapanLagi.com)

7.14.2008

Penuturan Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani Mengkaitkan Asyuro dengan Maulid

Di antara syubhat / ketersamaran tentang perayaan Maulid yang ada di dalam pikiran para pelaku, pendukung dan pembela Maulid adalah penuturan Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani yang mengkaitkan rasa syukur atas nikmat kelahiran dan kedatangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Agar lebih jelas, berikut kami kutip pemaparan Al-Imam As-Suyuthi tentang hal ini.1
Imam al Huffadz Abu Fadhl Ahmad bin Hajar -AlAsqalani- telah mentakhrij mengenai masalah Maulid yang didasarkan kepada Sunnah, maka saya mentakhrijnya sebagai sumber kedua, “Syaikhul Islam Hafidz Al Ashr Abu Al Fadhl Ahmad bin Hajar -Al Asqalani- ditanya tentang peringatan Maulid, maka dia menjawab:
“Pada dasarnya peringatan Maulid adalah bid’ah karena tidak seorangpun dari ulama salafusholih 3 abad pertama yang melakukannya. Akan tetapi, bagaimanapun peringatan itu telah mencakup kebaikan dan juga kejelekan, maka barangsiapa bisa mengambil baiknya dan membuang jeleknya, peringatan Maulid itu menjadi bid’ah hasanah; jika memang tidak maka tidak menjadi bid’ah hasanah. ”
Dia (Ibnu Hajar) berkata,
“Adapun saya mengembalikan masalah ini kepada sumber pokoknya, yaitu sebuah hadits yang diriwayatkan dalam Shahihain dari Nabi Shalallahu alaihi wa sallam, Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiallahu anhu berkata,
Sewaktu Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam tiba di Madinah, baginda mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari AsySyura. Ketika ditanya tentang puasa mereka, mereka menjawab,
“Hari ini adalah hari kemenangan yang telah diberikan oleh Allah kepada Nabi Musa alaihi salam dan kaum Bani Israel dari Fir’aun. Kami merasa perlu berpuasa pada hari ini sebagai ucapan terima kasih kami kepadaNya. ”
Lalu Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Kami lebih berhak daripada kamu dan Nabi Musa dalam hal ini. Kemudian baginda memerintahkan para shahabat supaya berpuasa pada hari tersebut. ” (Mutafaq alaihi) 2
Dari hadits diatas dapat ditarik benang merah bahwa untuk bersyukur kepada Allah atas nikmat yang telah diberikan kepada kita pada hari tertentu atau untuk mencegah musibah dan bencana tertentu.
Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita agar memperbanyak ibadah didalamnya dengan berbagai macam bentuknya, seperti shalat, puasa, shadaqoh, membaca al Qur’an dan sebagainya. Nikmat mana yang lebih besar daripada nikmat datangnya nabi yang penuh rahmat pada hari kelahirannya.
Maka dari itu, hendaknya pada hari kelahirannya itu dirayakan dengan ibadah, sehingga sama dengan kisah Musa alaihi salam pada bulan AsySyura. Orang yang tidak memperhatikan masalah ini, tidak akan peduli hari apa dan bulan apa melakukan perayaan Maulid, bahkan ada sekelompok orang yang memindahkan hari peringatan Maulid itu pada satu hari, kapanpun dalam satu tahun itu. Ini sudah menyimpang dari pokok persoalan.3
(Sampai sini perkataan As-Suyuthi)
Jawaban. Syubhat diatas dapat dijawab dari berbagai sisi.
Sisi Pertama. Pada awal jawabannya, Ibnu Hajar dengan terus terang mengatakan bahwa pada dasarnya peringatan Maulid itu adalah BID’AH karena dalam 3 abad pertama Islam, tidak seorangun ulama salaf yang melakukannya.
Jawaban ini sebenarnya cukup untuk mencela peringatan maulid, karena jika peringatan Maulid itu baik, tentu sudah dilakukan oleh para shahabat, tabi’in dan para imam sesudahnya.
Sisi Kedua. Takhrij Ibnu Hajar dalam fatwa-fatwanya tentang peringatan Maulid yang didasarkan pada hadits tentang puasa AsySyura adalah TIDAK PAS, karena itu (adalah) persoalan yang berbeda dan tidak mungkin disatukan.
Pada awal fatwanya, Ibnu Hajar berkata bahwa tidak seorangpun ulama salaf dari 3 abad pertama yang mengadakan peringatan Maulid. Jika para salafushsholih tidak mengadakan peringatan Maulid berdasarkan pemahaman nash yang difahami orang-orang yang sesudahnya, maka pemahaman mereka (orang-orang sesudah para salaf) itu, tidak bisa disebut pemahaman yang benar, karena jika pemahaman itu benar, tentu tidak bertentangan dengan pemaham salafussholih.
Dalil tentang puasa Asy Syura tidak tepat bila digunakan untuk dalil peringatan Maulid, karena jika itu bisa dijadikan dalil, tentu para salafusholih melakukannya. Dengan demikian istimbath (kesimpulan) Ibnu Hajar tentang bolehnya peringatan Maulid Nabi dari hadits tentang puasa AsySyura, bertentangan dengan ijma’ (kesepakatan) para salaf, baik dari sisi pemahaman maupun praktisnya.
Segala sesutu yang bertentangan dengan ijma’ mereka adalah SALAH, karena mereka tidak membuat kesepakatan kecuali dengan petunjuk.4 AsySyatibi rahimahullahu telah memaparkan masalah ini dalam bukunya Al Muwafaqaat fi Ushul Al Ahkaam.5
Sisi Ketiga. Membolehkan peringatan Maulid dengan dalil puasa AsySyura merupakan pembebanan ibadah yang tertolak, karena ibadah harus didasarkan pada syariat dan ittiba’ (mengikuti dalil / perintah Allah dan Rasul-Nya), bukan pada beda pendapat, istihsan (anggapan / dugaan baik) dan bid’ah.
Sisi Keempat. Puasa AsySyura telah dilakukan Nabi Shalallahu alaihi wa sallam dan disunnahkan, lain halnya dengan peringatan Maulid dan perayaannya. Nabi Shalallahu alaihi wa sallam tidak melakukannya dan tidak menyunahkannya.
Seandainya dalam hal ini ada sisi kebaikannya bagi umat, tentu beliau telah menjelaskannya kepada umatnya, karena tidak ada kebaikan kecuali semuanya telah dijelaskan dan disunnahkan, sebaliknya tidak ada kejelekan kecuali semuanya telah dilarang dan diingatkan. Bid’ah termasuk kejelekan yang dilarang dan diingatkan. Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Jauhilah kalian setiap yang perkara yang baru, karena setiap perkara baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat. ” (Mutafaq alaihi)
“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, sejelek-jelek perkara dalah yang baru, dan setiap perkara yang baru, setiap bid’ah adalah sesat. ”6
Catatan Kaki
1. Sumber: ebook Trilogi Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam [↩]

2. Diriwayatkan oleh Bukhari dalam shahih-nya yang dicetak bersama Fathul Bari IV, 244, kitab Ash Shaum, hadits no. 2004. Diriwayatkan Mulsim dalam Shahih-nya, II, 729, kitab Puasa, hadits 1130. [↩]

3. Al Haawi I/196, buku nomor 24. [↩]

4. Al-Qaul Al-Fashl, hal. 78. [↩]

5. (jilid) III, 41-44, masalah ke-12 bab Al Adillah asy Syar’iyyah [↩]

6. Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnadnya III, 310; Muslim dalam Shahih-nya II, 592, Kitab Al Jum’ah hadits no. 867; An Nasai dalam Sunannya III, 188-189, Kitab Shalat al Idain bab Kaifa al Khutbah”; Ibnu Majah dalam Sunan-nya I, 17, bab Al Muqaddimah, hadits 45. [↩]

(Dari Blog Vila Baitullah)

7.09.2008

HADITS DHA’IF DAN MAUDHU DI BULAN RAJAB

Tidak terasa waktu yang berlalu kembali membawa kita semua pada satu bulan yang termasuk dalam bulan haram yaitu bulan rajab. Maka banyak sekali amalan-amalan yang dilakukan oleh sebagian besar kaum muslimin untuk memuliakan bulan ini yang pada hakikatnya banyak pula dari kaum muslimin tersebut hanya ikut-ikutan melaksanakan amalan tersebut tanpa mengetahui apa yang menjadi dasar dari amalannya tersebut. Disini akan saya kutipkan salah satu qaidah yang disepakati oleh para fuqaha bahwasanya “Setiap ibadah itu pada dasarnya adalah haram sampai ada dalil yang memerintahkannya”. Maka dalam artikel ini ana mencoba untuk menyampaikan sedikit dari apa yang telah saya baca tentang berbagai hadits yang dijadikan sebagian besar kaum muslimin sebagai sandaran untuk beribadah dibulan rajab beserta derajatnya

a. Hadits Pertama

Barangsiapa menghidupkan malam pertama bulan rajab, maka hatinya tidak akan mati ketika hati manusia mati, Allah akan menuangkan kebaikan dari atas kepalanya, dia akan keluar dari dosa-dosanya seperti hari dia dilahirkan oleh ibunya, dan dia akan memberi syafa’at untuk 70.000 orang yang berbuat kesalahan yang telah ditetapkan masuk neraka”

Hadits ini tidak ditemukan perawinya, termasuk dalam kitab khusus mengenai hadits-hadits tentang bulan rajab yang dikarang oleh Ibn Hajar dan ‘Ali al-Qari dan hadits ini menurut Dr Ahmad Luthfi Fathullah dihukumi Maudhu’ (palsu) karena berdasarkan qaidah yang diberikan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani ketika beliau berkata :

Tidak dijumpai hadits shahih yang dapat dijadikan hujjah mengenai keutamaan bulan Rajab, puasa Rajab, puasa pada hari tertentu dibulan Rajab dan beribadah pada malam tertentu dibulan Rajab. Kepastian ini telah ditetapkan sebelumnya oleh al-Imam al-Hafizh Abu Ismail al-Harawi, dia berkata:”Adapun hadits-hadits mengenai Keutamaan bulan Rajab atau Keutamaan puasa Rajab atau puasa pada hari-hari tertentu dibulan Rajab cukuplah jelas dan tebagi menjadi dua bagian yaitu Dha’if (lemah) dan Maudhu’ (Palsu)

Sebelum Ibnu Hajar, Ibnu Qayyim al-Jauziyah juga telah mengisyaratkan qaidah yang disebutkan oleh Ibnu Hajar. Beliau berkata dalam kitab al-Manar al-Munir

“Semua Hadits mengenai puasa Rajab dan Shalat pada beberapa malam dibulan Rajab adalah dusta yang nyata”

Jadi hadits ini dihukumi Maudhu’ (palsu) sebab tidak terdapat dalam beberapa hadits yang dha’if yang disebutkan oleh Ibnu Hajar. Hal ini berarti bahwa hadits ini termasuk hadits palsu meskipun Ibnu Hajar tidak menyebutkannya secara langsung, namun isyarat dan penegasan beliau bahwa selain beberapa hadits dha’if yang disebutkan adalah palsu. Kemudian beliau memberikan sebagian kecil contoh-contoh hadits palsu yang dimaksudkan. Wallahu A’lam

b. Hadits Kedua

“Barangsiapa melakukan shalat setelah maghrib pada malam bulan Rajab sebanyak 20 raka’at, pada setiap raka’at dia membaca Al-Fatihah dan surat al-Ikhlas dan salam sebanyak 20 kali (maksudnya 20 raka’at dikerjakan dua raka’at-dua raka’at), maka Allah Ta’ala akan menjaganya, penghuni rumahnya dan keluarganya darai bencana didunia dan azab diakhirat.”

Ibn al-Jauzi menyebutkan hadits seperti ini diriwayatkan oleh al-Jauzaqani dari Anas ibn Malik dengan lafaz akhirnya :

“Maka Allah Ta’ala akan menjaga dirinya, hartanya, isterinya dan anaknya, diselamatkan dari azab kubur dan dia akan melintasi shirat (jembatan) bagaikan kilat yang menyambar, tanpa dihisab dan tanpa azab.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibn al-Jauzi dalam al-Maudhu’at, jil 2, hal 123; Ibn Qayyim, dalam al-Manar al-Munif, hal 96; al-Suyuthi dalam al-La’ali al-Mashunah jil 2 hal 55-56; ‘Ali al-Qari dalam al-Asrar al-Marfu’ah hal 461; Ibn ‘Arraq dalm Tanzib al-Syari’ah, jil 2, hal 90; al-Syaukani dalam al-Fawaid al-Majmu’ah hal 47. yang masing-masing ulama ini menghukumi hadits ini adalah hadits palsu. Sebabnya seperti yang dikatakan oleh Ibn al-Jauzi kebanyakan dari perawi dalam hadits tersebut adalah Majhul (tidak dikenal). Hadits ini termasuk dalam qaidah yang disebutkan oleh Ibn Hajar diatas.

c. Hadits Ketiga

“Ingatlah bahwa sesungguhnya bulan Rajab itu adalah bulan Allah yang bisu. Maka barangsiapa yang berpuasa pada bulan ini satu hari karena iman dan mengharapkan pahala, maka dia berhak mendapatkan ridha Allah Yang Maha Besar; barangsiapa yang berpuasa pada bulan ini selama dua hari maka para penghuni langit dan bumi tidak dapat menggambarkan kemuliaan yang diperolehnya disisi Allah; barangsiapa berpuasa selama tiga hari maka dia akan selamat dari segala tiga hari, maka dia akan selamat dari segala bencana didunia, azab diakhirat, gila, penyakit kusta/lepra penyakit belang dan fitnah Dajjal; barangsiapa berpuasa selama 7 hari maka 7 pintu neraka Jahannam akan ditutup baginya; barangsiapa yang berpuasa selama 8 hari, maka 8 pintu surga akan dibukakan baginya; barangsiapa yang berpuasa selama 10 hari, maka dia tidak akan meminta apapun kepada Allah melainkan Dia pasti memberinya; barangsiapa berpuasa selama 15 hari, maka Allah Ta’ala akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan mengganti keburukan-keburukannya dengan kebaikan-kebaikan; dan barangsiapa menambah (hari berpuasa), maka Allah menambah pahalanya.”

Hadits ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam al-Syu’ab dan Fadhail al-Auqat dan al-Asfahani dalam al-Targhib. Semuanya melalui Usman ibn Mathar dari ‘Abd al-Ghafur dari ‘Abd al-‘Aziz ibn Sa’id dari bapaknya.

Hadits ini adalah hadits Maudhu’ (palsu). Dalam sanad al-Baihaqi terdapat beberapa perawi yang dha’if, amat dha’if dan seorang yang dituduh meriwayatkan hadits palsu dari perawi yang tsiqah (terpercaya). Diantaranya adalah Usman ibn Mathar, dia dha’if menurut Abu Hatim, al-Nasa’i, al-Dzahabi dan Ibn Hajar. Abu Shalih ‘Abd al-Ghafur al-Waisithi, menurut al-Bukhari mereka meninggalkannya dan haditsnya munkar. Ibn ‘Adiy berkata : Dia dha’if dan haditsnya munkar. Al-Nasa’i berpendapat dia ditinggalkan haditsnya. Ibn Hibban juga menyatakan bahwa dia meriwayatkan hadits-hadits palsu dari perawi yang tsiqah.

Al-Baihaqi yang meriwayatkan hadits ini hanya mengatakan hadits ini dha’if, akan tetapi Ibn Hajar yang diikuti oleh Ibn ‘Arraq menghukuminya dengan palsu.

d. Hadits Keempat

Pada malam Mi’raj, aku melihat sebuah sungai yang airnya lebih manis dari madu, lebih dingin dari es dan lebih wangi dari minyak kesturi. Lalu aku bertanya : Sungai ini untuk siapa, wahai Jibril? Dia menjawab : untuk orang yang membaca shalawat kepadamu pada bulan Rajab”

Hadits ini belum ditemukan perawinya dan terdapat dalam kitab Zubdat al Wa’izhin. Meskipun belum ditemukan perawi hadits ini , namun al-Sakhawai berkata “Tidak ada suatu haditspun mengenai shalawat kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam dibulan Rajab yang Shahih. Berdasarkan kaidah inilah hadits ini dihukumi palsu.

e. Hadits Kelima

Sesungguhnya Rajab adalah bulan Allah, Sya’ban adalah bulanku dan Ramadhan adalah bulan ummatku.”

Hadits ini adalah potongan dari hadits panjang yang diriwayatkan oleh Ibn al Jauzi dalam kitabnya al-Maudhu’’at dari Muhammad ibn Nashir al-Hafizh dari Abu al-Qasim ibn Mandah dari Abu al-Hasan ‘Ali ibn Abdullah ibn Jahdam dari ‘Ali ibn Muhammad ibn Sa’id al-Bashri dari bapaknya dari Khalaf ibn Abdullah dari Humaid al-Tahawil dari Anas.

Hadits ini adalah hukumnya adalah Maudhu’’ (Palsu) karena dalam sanadnya terdapat ‘Ali ibn Abdullah ibn Jahdam al-Suda’i yang lebih dikenal dengan nama Ibn Jahdam, dia dituduh pendusta. Sedangkan beberapa perawi lainnya dalam sanad ini tidak dikenal, bahkan beberapa ulama hadits mengatakan bahwa barangkali mereka belum dilahirkan. Hadits ini juga dihukumi palsu oleh Ibn al-Jauzi, Ibn Qayyim, Ibn Hajar, al-Suyuti dan lain-lain.

f. Hadits Keenam

“Puasa pada hari pertama bulan rajab adalah kaffarat (pelebur dosa) untuk tiga tahun; puasa pada hari ke 2 adalah kaffarat untuk dua tahun; puasa hari ketiga adalah kaffarat untuk satu tahun kemudian setiap harinya (sisanya) adalah kaffarat untuk satu bulan.”

Hadits ini seperti yang diisyaratkan oleh al-Suyuti, diriwayatkan oleh Abu Muhammad al-Khallal dalam Fadhail Rajab dari Ibnu Abbas. Al-Suyuti menghukumi hadits ini dengan dha’if, akan tetapi al-Munawi mengatakan lebuh dari itu, amat dha’if, kemudian beliau menukil pendapat Ibn Shalah dan Ibn Rajab al-Hanbali yang mengisyaratkan palsunya hadits-hadits mengenai puasa rajab. Hadits ini dapat dihukumi palsu berdasarkan qaidah yang disebutkan Ibn Qayyim dan Ibn Hajar

g. Hadits Ketujuh

“Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam tidak berpuasa setelah bulan Ramadhan kecuali pada bulan rajab dan Sya’ban”

Hadits ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam al-Syu’ab dari Abu Hurairah dan al-Baihaqi mengatakan bahwa sanad hadits ini adalah dha’if, beliau juga menambahkan bahwa terdapat banyak riwayat yang berkaitan dengan masalah ini, namun semuanya munkar, dalam sanad-sanadnya terdapat banyak perawi yang majhul dan perawi dha’if

h. Hadits kedelapan

‘Sesungguhnya disurga terdapat sebuah sungai yang dinamakan Rajab yang lebih putih dari susu dan lebih manis dari madu, barangsiapa yang berpuasa selama satu hari dibulan Rajab, maka Allah Subhanahu Wa Ta'ala akan memberinya minum dari sunagi tersebut.

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibn Hibban dalam al-Majrubin dan al-Baihaqi dalam Fadhail al-Auqat dan al-Syairazi dalam al-Alqab seperti yang diisyaratkan oleh al-Suyuti. Kesemuanya dari Anas. Hadits ini telah dihukumi palsu oleh beberapa ulama seperti Ibn al-Jauzi, al-Dzahabi dan Ibn Hajar dalam Lisan al-Mizan. Penyebabnya adalah didalam sanad hadits ini terdapat perawi pendusta yaitu Manshur ibn Yazid. Ibn al-Jauzi mengatakan banyak yang tidak diketahui. Akan tetapi al-Suyuti dan Ibn Hajar dalam kitab Tahyin al-‘Ajab hanya mendhaifkan hadits ini, berbeda dengan hukuman beliau dalam kitab Lisan al-Mizan. Beliau berkata ”Isnadnya secara umum adalah dha’if, akan tetapi ia belum sampai menjadikan hadits ini palsu”.

i. Hadits Kesembilan

Setiap orang akan kelaparan pada hari kiamat kecuali para nabi dan keluarga mereka serta orng-orang yang berpuasa pada bulan Rajab, Sya’ban dan Ramadhan, maka sesungguhnya mereka ini dalam keadaan kenyang, mereka tidak merasakan lapar dan haus sama sekali.”

Hadits dengan lafaz seperti ini belum dapat ditemukan dan hanya terdapat dalam kitab Zubdat al Wa’izhin. Hadits ini boleh dihukumi palsu berdasarkan qaidah yang disebutkan oleh Ibn Hajar dan Ibn Qayyim

Demikianlah beberapa hadits yang berkenaan dengan keutamaan bulan Rajab dan masih ada banyak lagi hadits-hadits dha’if dan palsu yang bertebaran tentang bulan Rajab yang belum ana temukan. Semoga dengan mengetahui hadits-hadits ini dapat menghindarkan kita dari beramal yang sia-sia dan tertolak

Wallahu A’lam bishshowab

(Semua Hadits yang saya tuliskan ini saya kutipkan dari buku HADITS-HADITS LEMAH & PALSU DALAM KITAB DURRATUN NASHIHIN yang ditulis oleh Dr Ahmad Luthfi Fathullah MA)

7.08.2008

HADITS DHAIF SEPUTAR RAMADHAN

Kami menilai perlunya dibawakan pasal ini pada kitab kami, karena adanya sesuatu yang teramat penting yang tidak diragukan lagi sebagai peringatan bagi manusia, dan sebagai penegasan terhadap kebenaran, maka kami katakan :

Sesungguhnya Allah Ta'ala telah menetapkan sunnah Nabi secara adil, (untuk) memusnahkan penyimpangan orang-orang sesat dari sunnah, dan mematahkan ta'wilan para pendusta dari sunnah dan menyingkap kepalsuan para pemalsu sunnah.

Sejak bertahun-tahun sunnah telah tercampur dengan hadits-hadits yang dhaif, dusta, diada-adakan atau lainnya. Hal ini telah diterangkan oleh para imam terdahulu dan ulama salaf dengan penjelasan dan keterangan yang sempurna.


Orang yang melihat dunia para penulis dan para pemberi nasehat akan melihat bahwa mereka -kecuali yang diberi rahmat oleh Allah- tidak memperdulikan masalah yang mulia ini walau sedikit perhatianpun walaupun banyak sumber ilmu yang memuat keterangan shahih dan menyingkap yang bathil.

Maksud kami bukan membahas dengan detail masalah ini, serta pengaruh yang akan terjadi pada ilmu dan manusia, tapi akan kita cukupkan sebagian contoh yang baru masuk dan masyhur dikalangan manusia dengan sangat masyhurnya, hingga tidaklah engkau membaca makalah atau mendengar nasehat kecuali hadits-hadits ini -sangat disesalkan- menduduki kedudukan tinggi. (Ini semua) sebagai pengamalan hadits: "Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat ..."
22.1

dan sabda beliau: "Agama itu nasehat"
22.2

Maka kami katakan wabillahi taufik:

Sesungguhnya hadits-hadits yang tersebar di masyarakat banyak sekali, hingga mereka hampir tidak pernah menyebutkan hadits shahih -walau banyak- yang bisa menghentikan mereka dari menyebut hadits dhaif.

Semoga Allah merahmati Al-Imam Abdullah bin Mubarak yang mengatakan:

"(Menyebutkan) hadits shahih itu menyibukkan (diri) dari yang dhaifnya".

Jadikanlah Imam ini sebagai suri tauladan kita, jadikanlah ilmu shahih yang telah tersaring sebagai jalan (hidup kita).

Dan (yang termasuk) dari hadits-hadits yang tersebar digunakan (sebagai dalil) di kalangan manusia di bulan Ramadhan, diantaranya.

22.1 Pertama

"Artinya : Kalaulah seandainya kaum muslimin tahu apa yang ada di dalam Ramadhan, niscaya umatku akan berangan-angan agar satu tahun Ramadhan seluruhnya. Sesungguhnya surga dihiasi untuk Ramadhan dari awal tahun kepada tahun berikutnya ...." Hingga akhir hadits ini.

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (no.886) dan Ibnul Jauzi di dalam Kitabul Maudhuat (2/188-189) dan Abu Ya'la di dalam Musnad-nya sebagaimana pada Al-Muthalibul 'Aaliyah (Bab/A-B/tulisan tangan) dari jalan Jabir bin Burdah dari Abu Mas'ud al-Ghifari.

Hadits ini maudhu' (palsu), penyakitnya pada Jabir bin Ayyub, biografinya ada pada Ibnu Hajar di dalam Lisanul Mizan (2/101) dan beliau berkata : "Masyhur dengan kelemahannya". Juga dinukilkan perkataan Abu Nua'im, "Dia suka memalsukan hadits", dan dari Bukhari, berkata, "Mungkarul hadits" dan dari An-Nasa'i, "Matruk " (ditinggalkan) haditsnya".

Ibnul Jauzi menghukumi hadits ini sebagai hadits palsu, dan Ibnu Khuzaimah berkata serta meriwayatkannya, "Jika haditsnya shahih, karena dalam hatiku ada keraguan pada Jarir bin Ayyub Al-Bajali".

22.2 Kedua

"Artinya :Wahai manusia, sungguh bulan yang agung telah datang (menaungi) kalian, bulan yang di dalamnya terdapat suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan, Allah menjadikan puasa (pada bulan itu) sebagai satu kewajiban dan menjadikan shalat malamnya sebagai amalan sunnah. Barangsiapa yang mendekatkan diri pada bulan tersebut dengan (mengharapkan) suatu kebaikan, maka sama (nilainya) dengan menunaikan perkara yang wajib pada bulan yang lain .... Inilah bulan yang awalnya adalah rahmat, pertengahannya ampunan dan akhirnya adalah merupakan pembebasan dari api neraka ...." sampai selesai.

Hadits ini juga panjang, kami cukupkan dengan membawakan perkataan ulama yang paling masyhur. Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (1887) dan Al-Muhamili di dalam Amalinya (293) dan Al-Asbahani dalam At-Targhib (q/178, b/tulisan tangan) dari jalan Ali bin Zaid Jad'an dari Sa'id bin Al-Musayyib dari Salman.

Hadits ini sanadnya Dhaif, karena lemahnya Ali bin Zaid, berkata Ibnu Sa'ad, Di dalamnya ada kelemahan dan jangang berhujjah dengannya, berkata Imam Ahmad bin Hanbal, Tidak kuat. Berkata Ibnu Ma'in, Dha'if. Berkata Ibnu Abi Khaitsamah, Lemah di segala penjuru. Dan berkata Ibnu Khuzaimah, "Jangan berhujjah dengan hadits ini, karena jelek hafalannya." Demikian di dalam Tahdzibut Tahdzib (7/322-323).

Dan Ibnu Khuzaimah berkata setelah meriwayatkan hadits ini, Jika benar kabarnya. berkata Ibnu Hajar di dalam Al-Athraf, Sumbernya pada Ali bin Zaid bin Jad'an, dan dia lemah, sebagaimana hal ini dinukilkan oleh Imam As-Suyuthi di dalam Jami'ul Jawami (no. 23714 -tertib urutannya).

Dan Ibnu Abi Hatim menukilkan dari bapaknya di dalam Illalul Hadits (I/249), hadits yang Mungkar

22.3 Ketiga

"Artinya : Berpuasalah, niscaya kalian akan sehat"

Hadits tersebut merupakan potongan dari hadits riwayat Ibnu Adi di dalam Al-Kamil (7/2521) dari jalan Nahsyal bin Sa'id, dari Ad-Dhahak dari Ibu Abbas. Nashsyal (termasuk) yang ditinggal (karena) dia pendusta dan Ad-Dhahhak tidak mendengar dari Ibnu Abbas.

Diriwayatkan oleh At-Thabrani di dalam Al-Ausath (1/q 69/Al-Majma'ul Bahrain) dan Abu Nu'aim di dalam At-Thibun Nabawiy dari jalan Muhammad bin Sulaiman bin Abi Dawud, dari Zuhair bin Muhammad, dari Suhail bin Abi Shalih dari Abu Hurairah.

Dan sanad hadits ini lemah. Berkata Abu Bakar Al-Atsram,

Aku mendengar Imam Ahmad -dan beliau menyebutkan riwayat orang-orang Syam dari Zuhair bin Muhammad- berkata, "Mereka meriwayatkan darinya (Zuhair,-pent) beberapa hadits mereka (orang-orang Syam, -pent) yang dhoif itu".

Ibnu Abi Hatim berkata, "Hafalannya jelek dan hadits dia dari Syam lebih mungkar daripada haditsnya (yang berasal) dari Irak, karena jeleknya hafalan dia". Al-Ajalaiy berkata. "Hadits ini tidak membuatku kagum", demikianlah yang terdapat pada Tahdzibul Kamal (9/417).

Aku katakan:

Dan Muhammad bin Sulaiman Syaami, biografinya (disebutkan) pada Tarikh Damasqus (15/q 386-tulisan tangan) maka riwayatnya dari Zuhair sebagaimana di naskhan oleh para Imam adalah mungkar, dan hadits ini darinya.

22.4 Keempat

"Artinya : Barangsiapa yang berbuka puasa satu hari pada bulan Ramadhan tanpa ada sebab dan tidak pula karena sakit maka puasa satu tahun pun tidak akan dapat mencukupinya walaupun ia berpuasa pada satu tahun penuh"

Hadits ini diriwayatkan Bukhari dengan mu'allaq dalam shahih-nya (4/160-Fathul Bari) tanpa sanad.

Ibnu Khuzaimah telah memasukkan hadits tersebut di dalam Shahih-nya (19870), At-Tirmidzi (723), Abu Dawud (2397), Ibnu Majah (1672) dan Nasa'i di dalam Al-Kubra sebagaimana pada Tuhfatul Asyraaf (10/373), Baihaqi (4/228) dan Ibnu Hajar dalam Taghliqut Ta'liq (3/170) dari jalan Abil Muthawwas dari bapaknya dari Abu Hurairah.

Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari (4/161):

"Dalam hadits ini ada perselisihan tentang Hubaib bin Abi Tsabit dengan perselisihan yang banyak, hingga kesimpulannya ada tiga penyakit : idhthirah (goncang), tidak diketahui keadaan Abil Muthawwas dan diragukan pendengaran bapak beliau dari Abu Hurairah".

Ibnu Khuzaimah berkata setelah meriwayatkannya:

Jika khabarnya shahih, karena aku tidak mengenal Abil Muthawwas dan tidak pula bapaknya, hingga hadits ini dhaif juga.

Wa ba'du: Inilah empat hadits yang didhaifkan oleh para ulama dan di lemahkan oleh para Imam, namun walaupun demikian kita (sering) mendengar dan membacanya pada hari-hari di bulan Ramadhan yang diberkahi khususnya dan selain pada bulan itu pada umumnya.
22.3

Tidak menutup kemungkinan bahwa sebagian hadits-hadits ini memiliki makna-makna yang benar, yang sesuai dengan syari'at kita yang lurus baik dari Al-Qur'an maupun Sunnah, akan tetapi (hadits-hadits ini) sendiri tidak boleh kita sandarkan kepada Rasulullah صلی الله عليه وسلم, dan terlebih lagi -segala puji hanya bagi Allah- umat ini telah Allah khususkan dengan sanad dibandingkan dengan umat-umat yang lain.

Dengan sanad dapat diketahui mana hadits yang dapat diterima dan mana yang harus ditolak, membedakan yang shahih dari yang jelek. Ilmu sanad adalah ilmu yang paling rumit, telah benar dan baik orang yang menamainya: "Ucapan yang dinukil dan neraca pembenaran khabar".


Dikutip dari buku Sifat Puasa Nabi صلی الله عليه وسلم

-Hadith-Hadits Dhaif Yang Tersebar Seputar Ramadhan-

Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly dan Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid

Template by : Kendhin x-template.blogspot.com