Lihat Kartu Ucapan Lainnya (KapanLagi.com)

2.19.2008

AHLUL WASATH (UMMAT YANG PERTENGAHAN DIANTARA FIRQAH-FIRQAH YANG MENYIMPANG)

Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah Ahlul Wasath (ummat yang pertengahan diantara firqah-firqah yang menyimpang). Sebagaimana Allah SWT telah menjadikan ummat (Islam) ini sebagai ummat pertengahan (ummat yang adil dan terpilih), dikalangan semua Ummat manusia, sebagaimana firman-Nya :

“ Dan demikian pula telah Kami jadikan kamu (ummat Islam), ummat yang adil dan pilihan, agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad)menjadi saksi atas (perbuatan) kamu” (Q.S Al-Baqarah : 143)

Ahlus Sunnah adalah pertengahan diantara firqah (golongan-golongan) yang sesat. Menurut penjelasan Imam ‘Abdullah Ibnul Mubarak (wafat th 181 H) dan Yusuf al-Asbath (wafat th 195 H) bahwa golongan yang binasa (sesat) banyak jumlahnya, akan tetapi sumber perpecahannya ada 4 firqah (golongan), yaitu :

  1. Rafidhah
  2. Khawarij
  3. Qadariyyah
  4. Murji’ah

Ada orang yang bertanya kepda ‘Abdullah Ibnul Mubarak tentang golongan Jahmiyyah, maka beliau menjawab : “Mereka itu bukan ummat Nabi Muhammad Sallallahu 'Alaihi Wasallam”

Diantara keyakinan dan manhaj Ahlus Sunnah yang merupakan pertengahan adalah :

1. Mereka (Ahlus Sunnah) adalah pertengahan dalam masalah Sifat-Sifat Allah antara golongan Jahmiyah dan Musyabbihah.

Jahmiyyah adalah aliran yang sesat dan dikafirkan oleh para ulama. Muncul pada akhir kekuasaan Bani Umayyah. Disebut demikian karena dikaitkan dengan nama tokoh pendirinya, yaitu Abu Mahraz Jahm bin Shafwan at-Tirmidzi yang dibunuh pada tahun 128 H. Diantara pendapat aliran ini adalah mengingkari Asma’ dan Sifat-Sifat Allah SWT, AlQur’an adalah makhluk (barang ciptaan) dan bahwa iman itu adalah hanya sekedar mengenal Allah SWT, mereka berkeyakinan bahwa Surga dan Neraka itu fana (akan binasa) dan lain-lain.1

Musyabbihah yaitu aliran yang sesat dan termasuk ahlul bid’ah. Mereka menyamakan atau menyerupakan Sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya. Trmasuk dalam golongan tamtsil ini adalah Jawaliqiyyah, Hisyamiyyah, dan Jawaribiyyah.2

Sedangkan pandangan Ahlus Sunnah tentang Sifat Allah dapat dilihat dalam pembahasan Tauhid Asma’ wash Shifat.

2. Ahlus Sunnah pertengahan antara aliran Jabariyyah dan Qadariyyah dalam masalah af’alul ‘ibad ( perbuatan hamba-Nya)

Jabariyyah adalah aliran yang sesat dan termasuk ahlul bid’ah. Berasal dari kata ‘jabr’ artinya paksaan. Dan mereka mempunyai pandangan bahwa manusia dalam segala perbuatan, gerak-gerik dan tingkah lakunya adalah dipaksa, tidak memiliki kekuasaan dan kebebasan. Mereka menafikan perbuatan hamba secara hakikat dan menyandarkan kepada Allah. Termasuk dalam aliran ini adalah Jahmiyyah, mereka berpandangan seperti itu. Menurut Syahrastani bahwa Jabariyyah ada dua golongan : Jabariyyah Khalishah dan Jabariyyah Mutawassithah.3

Qadariyyah adalah aliran yang sesat dan termasuk ahlul bid’ah. Berasal dari kata ‘qadar’ artinya ketentuan Ilahi. Aliran ini tidak mengakui adanya qadar tersebut dan mengatakan manusialah yang menentukan perbuatannya, terlepas dari kodrat serta iradat Ilahi. Termasuk dalam aliran ini adalah Mu’tazilah yang juga berpandangan sama.4

Pandangan Ahlus Sunnah tentang perbuatan hamba adalah :

Pertama, perbuatan hamba pada hakikatnya adalah ciptaan Allah 'Azza wa Jalla.

Kedua, yang melaksanakan perbuatan tersebut adalah hamba itu secara hakiki.

Ketiga, seorang hamba mempunyai kekuasaan (kemampuan) untuk melaksanakan perbuatan secara hakiki dan mempunyai pengaruh atas terjadinya perbuatan tersebut. Dan Allah-lah yang memberi kemampuan untuk melakukan kepada mereka untuk melakukan perbuatan tersebut.5

Imam Abu ‘Utsman ash-Shabuni (wafat th 499 H) Rahimahullah berkata “Pemahaman Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah keyakinan bahwa perbuatan hamba adalah diciptakan Allah 'Azza wa Jalla. Dan mereka tidak ada yang membantah serta tidak ada keraguan sedikitpun. Sebaliknya, mereka menganggap orang yang mengingkari dan tidak menerima kenyataan itu sebagai orang yang menyimpang dari petunjuk dan kebenaran.”6

3. Mereka (Ahlus Sunnah) pertengahan dalam masalah ancaman Allah antara Murji’ah dan aliran Wa’idiyayah dari kalangan Qadariyyah dan selain mereka.

Murji’ah adalah aliran yang sesat dan termasuk ahlul bid’ah. Berasal dari kata ‘irja’ yang berarti pengakhiran, sebab mereka mengakhirkan (memisahkan) amal dari iman. Mereka mengatakan: “Suatu dosa tidak membahayakan selama ada iman, sebagaimana ketaatan tidak berguna selama ada kekafiran.” Menurut mereka, amal tidaklah termasuk criteria iman, serta iman tidak bertambah dan tidak pula berkurang.7

Wa’idiyyah adalah aliran yang sesatdan termasuk ahlul bid’ah, berasal dari kata wa’iid yang berarti ancaman. Mereka berpendapat bahwa Allah harus melaksanakan ancamannya sebagaimana yang disebutkan dalam AlQur’an. Oleh karena itu mereka berpendapat bahwa pelaku dosa besar, apabila dia wafat tanpa bertaubat, maka ia akan kekal didalam Neraka, sebagaimana yang diancamkan Allah terhadap mereka, sebab Allah tidak akan menyalahi Janji-Nya.8

Sedangkan menurut pendapat Ahlus Sunnah bahwasanya seorang Muslim yang berbuat dosa besar akan mendapat ancaman dengan Neraka apabila ia tidak bertaubat, jika Allah menghendaki, Dia akan mengampuninya, dan jika Allah menghendaki, maka Dia akan menyiksanya didalam Neraka, akan tetapi ia tidak kekal di Neraka.9

4. Ahlus Sunnah adalah pertengahan dalam hal nama-nama iman dan agama, antara golongan Haruriyyah dan Mu’tazilah serta antara kaum Murji’ah dan Jahmiyyah.

Haruriyyah adalah aliran sesat dan termasuk ahlul bid’ah. Berasal dari kata haruura’ yaitu suatu tempat didekat Kuffah. Haruriyyah termasuk salah satu sekte dalam aliran Khawarij. Dinamakan demikian ditempat itulah mereka berkumpul ketika keluar (memberontak) dari kekhalifahan ‘Ali bin Abi Thalib Radhiallahu 'Anhu. Menurut mereka, pelaku dosa besar adalah kafir dan diakhirat ia kekal didalam Neraka.10

Mu’tazilah adalah aliran yang sesat dan termasuk ahlul bid’ah. Mereka adalah pengikut Washil bin ‘Atha’ dan ‘Amr bin ‘Ubaid. Dikatakan Mu’tazilah karena mereka mengeluarkan diri (‘itizal) dari kelompok kajian al-Hasan al-Bashri (wafat tahun 110 H) Rahimahullah atau karena mereka mengisolir diri dari pandangan sebagian besar ummat Islam ketika itu dalam hal pelaku dosa besar, karena menurut Washil bin ‘Atha’, pelaku dosa besar berada dalam suatu status antara iman dan kafir, tidak dikatakan briman dan tidak pula dikatakan kafir, atau disebut dengan istilah mereka : manzilah bainal manzilatain (tempat diantara dua kedudukan, tidak mukmin dan tidak kafir). Dan jika tidak bertaubat, maka ia di akhirat kelak kekal didalam Neraka.11

Adapun menurut Ahlus Sunnah, pelaku dosa besar dari kaum Muslimin, masih disebut Mukmin karena imannya, hanya saja ia itu fasiq karena perbuatan dosa besarnya. Atau dikatakan dia itu Mukmin yang kurang imannya, sedang urusannya diakhirat – apabila ia belum bertaubat – adalah terserah Allah, jika Allah 'Azza wa Jalla menghendaki, akan disiksa-Nya (sesuai dengan keadilan-Nya) dan jika Dia menghendaki akan diampuni-Nya (sesuai dengan sifat kasih-Nya)

5. Ahlus Sunnah juga pertengahan antara golongn Rafidhah dan Khawarij, dalam masalah Sahabat Nabi Sallallahu 'Alaihi Wasallam.

Rafidhah adalah aliran yang sesat dan termasuk ahlul bid’ah. Berasal dari kata ‘Rafadha’ artinya menolak. Salah satu sekte didalam aliran Syi’ah. Mereka berikap berlebih-lebihan terhadap ‘Ali dan Ahlul Bait, serta mereka menyatakan permusuhan terhadap sebagian besar Sahabat, khususnya Abu Bakar, dan ‘Umar Radhiallahu 'Anhuma. Disebut Rafidhah, karena menolak untuk membantu serta mendukung Zaid bin ‘Ali bin al-Husain bin ‘Ali bin ‘Abi Thalib pada masa kepemimpinan Hisyam bin ‘Abdil Malik. Sebabnya, karena mereka meminta kepada Zaid supaya menyatakan tidak berpihak kepada Abu Bakar dan ‘Umar, beliau menolak dan tidak mau sehingga mereka pun menolak untuk mendukungnya. Oleh karena itu mereka disebut Rafidhah.12

Khawarij adalah aliran yang sesat dan termasuk ahlul bid’ah. Berasal dari kata kharaja yang berarti keluar. Suatu aliran yang menyempal dari agama Islam dan mereka keluar dari para Imam pilihan dari kaum Muslimin. Bahkan mereka mengkafirkan ‘Ali dan Mu’wiyah serta para pendukung keduanya. Mereka (Khawarij) disebut demikian karena menyatakan keluar dari kekhalifahan ‘Ali setelah peristiwa Shiffin. Prinsip Khawarij paling mendasar ada tiga, yang telah menyimpang, sesat dan menyesatkan kaum Muslimin :

Pertama, mengkafirkan ‘Ali bin ‘Abi Thalib, Utsman bin ‘Affan dan dua Hakim13 Ridhwanallahu ‘Anhum Ajma’in.

Kedua, wajib keluar (berontak) dari penguasa yang Zhalim

Ketiga, pelaku dosa besar adalah kafir dan diakhirat kekal dalam Neraka14

Firqah yang pertama kali keluar dari ummat Islam adalah Khawarij, merekalah yang pertama kali mengkafirkan kaum Muslimin dengan sebab dosa besar, dan mereka jugalah yang menghalalkan darah kaum Muslimin dengan sebab itu.15

Wallahu ‘A’lam

Catatan Kaki

  1. Lihat Maqaalat Islamiyyin (Juz 1) oleh Abul Hasan al-Asy’ari, al-Farqu bainal Firaq (hal 158), al-Milal wan Nihal (hal 86-88) oleh Syahrastani, Syarhul ‘Aqiidah al-Waasithiyyah (hal 185) oleh Khalil Hirras, tahqiq as-Saqqaf, dan Wasathiyyah Ahlis Sunnah (hal 296).
  2. Lihat Syarhul ‘Aqiidah al-Waasithiyyah (hal 185) oleh Khalil Hirras, tahqiq as-Saqqaf, al-Farqu bainal Firaq (hal 170-174), dan Wasathiyyah Ahlis Sunnah (hal 317-318).
  3. Lihat Maqaalat Islamiyyin (I/338), al-Milal wan Nihal (hal 85) oleh Syahrastani, Wasathiyyah Ahlis Sunnah (hal 378).
  4. Lihat al-Farqu bainal Firaq (hal 79), oleh al-Khatib al-Baghdadi, tahqiq Muhyidin ‘Abdul Hamid, al-Milal wan Nihal (hal 43-45) oleh Syahrastani, dan Wasathiyyah Ahlis Sunnah (hal 378).
  5. Lihat Wasathiyyah (hal. 379) dan Minhajus Sunnah (II/298)
  6. Aqiidatus Salaf Ash-haabil Hadits (hal 90 no. 118)
  7. Lihat al-Milal wan Nihal (hal 139) oleh Syahrastani, Wasathiyyah Ahlis Sunnah (hal 294-295).
  8. Lihat Syarhul ‘Aqiidah al-Waasithiyyah (hal 188) oleh Khalil Hirras, tahqiq as-Saqqaf, dan Wasathiyyah Ahlus Sunnah (hal 355-356).
  9. Wasathiyyah Ahlus Sunnah (hal 357).
  10. Lihat Maqaalat Islamiyyin (I/167) oleh Abul Hasan al-Asy’ari, tahqiq Muhyidin ‘Abdul Hamid, Majmu’ al-Fataawaa (VII/481-482) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Syarhul ‘Aqiidah al-Waasithiyyah (hal 190) oleh Khalil Hirras, tahqiq as-Saqqaf
  11. Lihat al-Farqu bainal Firaq (hal 15), Wasathiyyah (hal 296-297, 341-343)
  12. Lihat Minhajus Sunnah (I/34-36) oleh Syaikhul Islam, tahqiq Dr. Muhammad Rasyad Salim, Maqaalatul Islamiyyiin (I/165, 88, 136) dan Wasathiyyah Ahlis Sunnah (hal 405-418)
  13. Yang dimaksud dengan dua hakim adalah dua orang utusan untuk melerai perselisihan antara ‘Ali dan Mu’awiyah. Dari pihak ‘Ali diutus Abu Musa al-Asy’ari dan dari pihak Mu’awiyah diutus ‘Amr bin al-Ash Ridhwanallahu ‘Anhum Ajma’in.
  14. Lihat Maqaalaatul Islaamiyyiin (I/167-168), al-Milal wan Nihal (hal 114-115) oleh Syahrastani, Fat-hul Baari (XII/481) dan Wasathiyyah (hal290-291)
Majmuu’ Fataawa (III/349 dan VII/481) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.

PACARAN

Rasulullah SAW bersabda: Dari Abu Hurairah ra. dari Rasulullah SAW bersabda : "Sesungguhnya Allah menetapkan untuk anak adam bagiannya dari zina, yang pasti akan mengenainya. zina mata dengan memandang, zina lisan dengan berbicara, sedangkan jiwa berkeinginan serta berangan-angan, lalu farji yang akan membenarkan atau mendustakan semuanya". (HR. Bukhari 4/170, Muslim 8.52, Abu Dawud 2152). Padahal Allah ta'ala telah melarang perbuatan zina dan segala sesuatu yang bisa mendekati perzinaan (Lihat Hirosatul Fadhilah oleh Syaikh Bakr Abu Zaid, Hal 94-98) sebagaimana firmanNya : "Dan janganlah kamu

mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk". (QS. Al-Isra' : 32). Setelah memperhatikan ayat dan hadits di atas, maka tidak diragukan lagi bahwa pacaran itu haram, karena beberapa sebab berikut :

1. Orang yang sedang pacaran tidak mungkin menundukan pandangannya terhadap kekasihnya.

2. Orang yang sedang pacaran tidak akan bisa menjaga hijab.

3. Orang yang sedang pacaran biasanya sering berdua-duaan dengan kekasihnya, baik didalam rumah atau di luar rumah.

4. Wanita akan bersikap manja dan mendayukan suaranya saat bersama kekasihnya.

5. Pacaran identik dengan saling menyentuh antara laki-laki dengan wanita, meskipun itu hanya jabat tangan.

6. Orang yang sedang pacaran, bisa dipastikan selalu membayangkan orang yang dicintainya.

Dalam kamus pacaran, hal-hal tersebut adalah lumrah dilakukan, padahal satu hal saja cukup untuk mengharamkan pacaran, lalu bagaimana kalau semuanya?.

FATWA ULAMA' SEPUTAR PACARAN

----------------------------

Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin ditanya tentang hubungan cinta sebelum nikah (pacaran)? Jawab beliau : Jika hubungan itu sebelum akad nikah, baik sudah lamaran ataupun belum, maka hukumnya haram, karena tidak boleh seseorang untuk bersenang-senang dengan wanita asing (bukan mahramnya) baik lewat ucapan, memandang, ataupun berdua-duaan. Sebagaimana telah tsabit dari Rasulullah SAW, bahwa beliau bersabda : "Janganlah seorang laki-laki berdua-duaan dengan seorang wanita kecuali bersama mahramnya, dan janganlah seorang wanita bepergian kecuali bersama mahramnya". (Fatwa Islamiyah kumpulan Muhammad Al-Musnid 3/80).

Syaikh Abdullah bin Abdur Rahman Al-Jibrin ditanya : "Kalau ada seorang laki-laki yang berkorespondensi dengan seorang wanita yang bukan mahramnya, yang pada akhirnya mereka saling mencintai, apakah perbuatan itu haram?" Jawab beliau : Perbuatan itu tidak diperbolehkan, karena bisa menimbulkan syahwat diantara keduanya, serta mendorongnya untuk bertemu dan berhubungan, yang mana korespondensi semacam itu banyak menimbulkan fitnah dan menanamkan dalam hati seseorang untuk mencintai perzinaan yang akan bisa menjerumuskan seseorang pada perbuatan keji, maka saya menasehatkan kepada setiap orang yang menginginkan kebaikan bagi dirinya untuk

menghindari surat-suratan, pembicaraan lewat telepon serta perbuatan semacamnya demi menjaga agama dan kehormatannya.

Syaikh Jibrin juga ditanya : "Apa hukumnya kalau ada seorang pemuda yang belum menikah menelepon gadis yang belum menikah?" Jawab beliau : Tidak boleh berbicara dengan wanita asing (bukan mahramnya) dengan pembicaraan yang bisa menimbulkan syahwat, seperti rayuan, mendayukan suara baik lewat telepon maupun lainnya. Sebagaimana firman Allah ta'ala : "Dan janganlah kalian melembutkan suara, sehingga akan berkeinginan orang-orang yang hatinya terdapat penyakit". (QS. Al-Ahzab : 32).

Adapun kalau pembicaraan itu untuk sebuah keperluan, maka hal itu tidak mengapa apabila selamat dari fitnah, akan tetapi hanya sekedar keperluan. (Fatawa Islamiyah 3/97).

Sebenarnya, keharaman pacaran lebih jelas dari pada matahari di siang bolong. Namun begitu masih ada yang berusaha menolaknya walaupun dengan dalil yang sangat rapuh, serapuh rumah laba-laba. Tidak bisa dipukul rata bahwa pacaran itu haram, adakah pacaran yang Islami, tanpa melanggar syariat?

Istilah "Pacaran Islami" itu cuma ada dalam khayalan, dan tidak pernah ada wujudnya. Karena anggaplah bisa menghindari khalwat, menyentuh serta menutup aurat. tapi tetap tidak akan bisa menghindari dari saling memandang. Atau paling tidak membayangkan dan memikirkan kekasihnya. Yang mana hal itu sudah cukup mengharamkan pacaran.

Orang sebelum memasuki dunia pernikahan, butuh untuk mengenal dahulu calon pasangan hidupnya, baik sisi fisik maupun karakter, yang mana hal itu tidak akan bisa dilakukan tanpa pacaran, karena bagaimanapun juga kegagalan sebelum menikah akan jauh lebih ringan daripada kalau terjadi setelah nikah.

Jawab : Memang, mengenal fisik dan karakter calon istri maupun suami merupakan suatu hal yang dibutuhkan orang sebelum memasuki biduk pernikahan, agar tidak ada penyesalan di kemudian hari, juga tidak terkesan membeli kucing dalam karung. Namun, tujuan ini tidak bisa menghalalkan sesuatu yang haram. Ditambah lagi, bahwa orang yang

sedang jatuh cinta akan berusaha menanyakan segala yang baik dengan menutupi kekurangannya dihadapan kekasihnya. Juga orang yang sedang jatuh cinta akan menjadi buta dan tuli terhadap perbuatan kekasihnya, sehingga akan melihat semua yang dilakukannya adalah kebaikan tanpa cacat. (Lihat Faidhul Qodir oleh Imam Al-Munawi 3/454).

2.18.2008

SUMBER-SUMBER PENYEBAB ISTIQOMAH


Sungguh termasuk perkara yang tidak diperselisihkan sekalipun hanya oleh dua golongan dari kalangan ahlul ilmi dan iman bahwasanya sebab-sebab istiqomahnya orang yang telah diberi beban syariat secara umum dan pemuda secara khusus adalah dengan mereka mengambil manfaat dari sumber-sumbernya yaitu :

1. Alqur’an yang agung, pemberi peringatan yang bijak yang telah Allah SWT turunkan sebagai penjelas segala sesuatu, sebagai petunjuk, rahmat dan kabar gembira bagi kaum muslimin. Allah SWT juga telah mewasiatkan hambaNya untuk memperhatikannya dalam banyak ayatNya. Seperti firman Allah SWT :

Dan bacakanlah apa yang diwahyukan kepadamu, Yaitu kitab Tuhanmu (Al Quran). tidak ada (seorangpun) yang dapat merobah kalimat-kalimat-Nya. dan kamu tidak akan dapat menemukan tempat berlindung selain dari padanya. (Q.S Al Kahfi :27)

Begitu pula firmannya

Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S Al-Ankabut :45)

Rasulullah Sallallahu 'Alaihi Wasallam juga sering mewasiatkan kepada kita untuk memperhatikan Alqur’an dalam berbagai kesempatan didalam sunnah-sunnahnya yang shahih seperti sabda beliau Sallallahu 'Alaihi Wasallam :

“Bacalah oleh kalian Alqur’an, sesungguhnya dia adalah pemberi syafaat pada hari kiamat, bacalah oleh kalian Az Zahrawaini (yaitu surah Albaqarah dan Ali Imran) karena sesungguhnya ia aka datang pada hari kiamat seolah-olah keduanya seperti sekelompok burung yang lebat bulunya yang akan melindungi pembacanya pada hari kiamat” Beliau kemudian bersabda “Bacalah oleh kalian Al Baqarah karena mengambilnya adalah barokah dan meninggalkannya adalah kerugian dan tukang sihir tidak mampu melawannya” 1

Juga Sabda Nabi Sallallahu 'Alaihi Wasallam

“Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari Alqur’an dan mengajarkannya”2

Juga sabda beliau Sallallahu 'Alaihi Wasallam

“Dikatakan kepada para penghafal Alqur’an : Baca dan naiklah dan tartilkanlah sebagaimana kamu mentartilkannya didunia, sesungguhnya kedudukan kalian sesuai dengan akhir ayat yang kalian baca”3

Begitu pula dalil-dalil yang lain yang banyak baik dari kitab maupun sunnah. Sungguh benar seorang yang berkata dalam mensifati Al Quran

Dia adalah kitab yang apabila ada orang yang sedang membacanya

Seakan-akan sedang bercakap-cakap dengan Ar Rahman dengan kata-kata

Dia adalah jalan, dia adalah tali yang kuat

Dia adalah timbangan, dia adalah pegangan yang kokoh bagi siapa yang berpegang teguh

Dia adalah penjelasan dan pengingat yang bijaksana

Dia adalah perinci, maka cukupkanlah dirimu dengannya dari setiap perkara yang samara

Dia adalah ilmu dan peringatan bagi orang-orang yang mengambil pelajaran

Dia adalah nasehat-nasehat dan berita gembira bagi orang-orang yang mengambil pelajaran

Dia adalah yang diturunkan sebagai cahaya yang jelas dan petunjuk

Dan dia adalah obat bagi hati yang sakit

Akan tetapi itu semua bagi Ahli Iman apabila mereka mengamalkannya

Dengan apa-apa yang ada didalamnya dari ilmu dan hukum

Adapun orang yang berpaling darinya maka dia dapat melihatnya

Karena matanya buta tidak dapat melihat dari petunjuknya yang terang benderang

Asy Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al Madkhali mengatakan : “Para Salafush Shalih (Pendahulu kita yang sholih) telah mengetahui kedudukan pemberi peringatan yang bijaksana, Alqur’an yang agung dan kitab yang nyata ini. Maka mereka menganggap Alqur’an tersebut sebagai sumber yang paling besar yang diambil manfaat darinya sebab-sebab istiqomah diatas kebenaran, mereka saling berwasiat dengannya, mengambil penerangan dari cahayanya, sebagaimana mereka menganggap Alqur’an sebagai gizi yang bermanfaat bagi hati-hati mereka, sebagai pensuci bagi jiwa-jiwa mereka, serta sebagai pembersih bagi anggota badan mereka. Mereka saling merealisasikan Alqur’an dalam kehidupan amaliyah mereka yang nyata. Mereka halalkan apa yang Alqur’an halalkan, mereka haramkan apa yang Alqur’an haramkan. Mereka beriman dengan ayat-ayat muhkam dan mutasyabih. Mereka beradab dengan adabnya Alqur’an. Mereka berharap dengan janji yang ada didalam Alqur’an. Mereka takut dengan ancaman yang ada didalamnya. Mereka membenarkan seluruh janji-janji, ancaman-ancaman, kabar-kabar dan hukum-hukumnya. Mereka mengambil pelajaran dari kisah-kisah dan permisalan-permisalan yang terdapat didalamnya. Mereka mengambil manfaat dari pengarahan-pengarahan dan wasiat-wasiatnya. Mereka melaksanakan hak Alqur’an dalam bacaan, pemahaman, ataupun amalannya terus-menerus sepanjang siang dan malam. Maka merekapun diberi petunjuk untuk meniti kebenaran dan diberi nikmat istiqomah diatasnya. Maka gembiralah mereka didunia, alam barzah dan alam akherat mereka ketika orang-orang yang celaka dan lalai berpaling darinya orang-orang yang bodoh dan suka merusak keutamaan-keutamaan dan pengarahan-pengarahannya yang mana mereka diuji dengan penyakit Syubhat dan Syahwat sehingga mereka diharamkan dari kehidupan yang baik dan berbarokah. Hanya orang sabar saja yang dapat menemui kehidupan tersebut dan tidak dapat menemui kehidupan tersebut kecuali orang-orang yang telah mendapatkan keberuntungan yang besar. Sunguh benar apa yang difirmankan Rabb kita yang mulia Azza Wa Jalla

Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih-bertindih, apabila Dia mengeluarkan tangannya, Tiadalah Dia dapat melihatnya, (dan) Barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah Tiadalah Dia mempunyai cahaya sedikitpun.(Q.S An-Nur :40)

2. Sunnah Nabawiyah yang mulia dengan cahayanya yang cemerlang yang menafsirkan Alqur’an , menjelaskan apa yang global didalamnya dan sebagai saksi bagi kebenaran, kebaikan, kesempurnaan dan keagungan Alqur’an. Demikian pula Alqur’an mengajak untuk mengamalkan As Sunnah dan mengambil seluruh apa yang terdapat didalam As Sunnah tersebut berupa perintah-perintah maupun larangan-larangan, janji-janji maupun ancaman-ancaman, adab maupun akhlaq, dan perikemanusiaan maupun perikehidupan. Sudah bukan merupakan sesuatu ang asing lagi kalau Kalamullah dan As Sunnah Ash Shahihah tersifati dengan sifat-sifat kesempurnaan dan kemuliaan, karena keduanya adalah sumber cahaya yang satu dan dua hal yang tidak dapat dipisahkan bahkan keduanya bersatu dalam dakwah kepada perealisasian setiap kebaikan, kebajikan dan kedamaian serta memperingatkan manusia dari sifat kejelekan, kejahatan, dan kerusakan. Apabila keadaan keduanya demikian, maka hendaklah kaum muslimin secara umum dan para pemuda secara khusus mengetahui bahwasanya keduanya adalah sumber yang paling besar untuk diambil darinya sebab-sebab istqomah diatas pintu gerbang kebaikan, kelapangan cahaya dan petunjuk.

3. Sejarah Nabi Sallallahu 'Alaihi Wasallam yang mulia (Siroh Nabawiyyah) yang mengisahkan kepada manusia pengutusan beliau yang penuh kasih saying, risalah beliau yang mulia, dakwah beliau yang penuh hikmah, kesungguhan beliau yang ikhlas lagi mulia, dan wilayah kekuasaan beliau yang telah mencakupsebagian besar dunia ini setelah Allah ‘Azza wa Jalla memberikan kemenangan yang besar bagi beliau Sallallahu 'Alaihi Wasallam . dari sejarah Nabawiyyah ini kita dapat mengambil faedah dalam mengetahui sebab-sebab istiqomah, sebagimana firman Allah SWT

"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah suri tauladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut nama Allah" (Q.S Al Ahzab :21)

4. Sejarah Shalafush Sholih pewaris para nabi Nabi Sallallahu 'Alaihi Wasallam pemilik ilmu dan amal yang sholih dari kalangan para shahabat Radhiallahu 'Anhu dan tabi’in serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan penuh keimanan dan keihsanan. Sesungguhnya sejarah mereka yang mulia termasuk sumber yang berbarokah yang diambil dari sebab-sebab istiqomah.

Inilah sumber-sumber utama yang teranggap sebagai rujukan pokok untuk sebab-sebab yang telah disebutkan. Adapun selainnya masuk didalam lingkupannya dan cabang darinya. Maka sudah seyogyanya bagi orng-orang yang ditugaskan untuk mendidik dan memperhatikan para pemuda untuk memahami sumber-sumber ini dan meluaskan wawasan keilmuan mereka padanya agar mereka dapat menjadi teladan didalam perbuatan-perbuatan yang berbarokah dan amal-amal shalih yang dibarengi dengan perkataan yang baik dan benar yang dengan hal tersebut pengajaran mereka akan menghasilkan buah yang siap dituai. Begitu pula agar mereka mendapatkan kemenangan berupa pahala yang besar dan mencapai kebaikan yang banyak sebagai rahmat dan keutammaan dari Allah ‘Azza wa Jalla yang Maha Mendengar dan Maha Melihat

Dikutip dari tulisan Asy-Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al Madkhali dalam kitab Agar Pemuda Tetap Istiqomah”

Catatan kaki

  1. H.R Muslim dari sahabat Abu Umamah Al Bahily Radhiallahu 'Anhu (1/553)
  2. H.R Bukhari (4/1919)
  3. H.R Tirmidzi (5/177), Abu Dawud (2/73)dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al Albany Rahimahullah dalam Silsilah Ash Shahihah

2.16.2008

HUKUM MERIWAYATKAN DAN MENGAMALKAN HADITS-HADITS DHAIF UNTUK FADHAA-ILUL A'MAL (KEUTAMAAN AMAL) TARGHIB DAN TARHIB DAN LAIN-LAIN

Dalam membahas dan mempelajari masalah ini kita akan bagi menjadi dua bagian :

PERTAMA

Menjelaskan beberapa kesalahan dan kejahilan dalam memahami perkataan sebagian ulama tentang mengamalkan hadist dhaif untuk fadhaa-ilul a’mal :

Kebanyakan dari mereka menyangka bahwa masalah mengamalkan hadist-hadist dhaif untuk fadhaa-ilul a’mal atau targhib dan tarhib tidak ada khilaf lagi - tentang bolehnya- diantara para ulama. Inilah persangkaan yang jahil. Padahal , kenyataannya justru sebaliknya. Yakni telah terjadi khilaf diantara mereka para ulama sebagaimana diterangkan secara luas di dalam kitab-kitab musthalah . dan menurut mazhab Imam Malik , Syafi’I , Ahmad bin Hanbal , Yahya bin Ma’in, Abdurahman bin Mahdi , Bukhari , Muslim , Ibnu Abdil Baar , Ibnu Hazm dan para imam ahli hadist lainnya , mereka semua TIDAK MEMBOLEHKAN beramal dengan hadist dhaif SECARA MUTLAK meskipun untuk fadhailul a’mal dan lain-lain. Tidak syak lagi inilah mazhab yang haq. Karena tidak ada hujjah kecuali hadist-hadist yang telah tsabit dari Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam . Cukuplah kita mengingat perkataan Imam Syafi’I :” idza shohhal hadistu fahuwa mazhabiy” apabila telah sah suatu hadist . maka itulah mazhabku. Mereka memahami bahwa mengamalkan hadist dha’if itu untuk menetapkan (itsbat) tentang suatu amal. Baik mewajibkan , menyunatkan (mustahab), mengharamkan atau memakruhkannya meskipun tidak datang nash dari Al kitab dan As Sunnah. Seperti mereka telah menetapkan dengan hadist-hadist dha’if beberapa macam shalat sunat dan ibadah lainnya yang sama sekali tidak ada dalil shahih dari As Sunnah secara tafsil (terperinci) yang menerangkan tentang sunatnya. Kalaupun demikian pemahaman mereka dalam mengamalkan hadist-hadist dha’if untuk fadhaailul a’mal. Memang demikianlah yang selama ini mereka amalkan. Maka, jelaslah bahwa mereka telah menyalahi ijma ulama sebagaimana diterangkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Karena barang siapa yang menetapkan (istbat) tentang sesuatu amal yang tidak ada nashnya dari al Kitab dan As Sunnah baik secara jumlah (garis besarnya) dan tafsil atau secara tafsil (rinci) saja, maka sesungguhnya ia telah membuat syariat yang tidak diizinkan oleh Allah Jalla wa ‘Alaa. Kepada mereka ini , Imam Syafi’I , telah memperingatkan dengan perkataannya yang masyhur :”man istahsana faqod syaro’a” - barang siapa yang menganggap baik (istihsan) - yakni tentang suatu amal yang tidak ada nash dan Sunnah - maka sesungguhnya ia telah membuat syariat baru !!!! Semoga Allah merahmati Imam Syafi’I yang terkenal dikalangan salaf sebagai naashirus sunnah (pembela sunnah).

Perlu kita ketahui Bahwa yang dimaksud oleh sebagian ulama boleh beramal dengan hadist-hadist dho’if untuk fadhail a’amal atau targhib dan tarhib , ialah apabila telah datang nash yang shahih secara tafsil (rinci) yang menetapkan tentang suatu amal - baik wajib, sunat,haram atau makruh- kemudian datang hadist-hadist dho’if (yang ringan dho’ifnya) yang menerangkan tentang keutamaannya (fadha’il a’mal) atau targhib dan tarhib dengan syarat hadist-hadist tsb tidak sangat dho’if atau maudhu’ (palsu), maka inilah yang dimaksud. Salah faham dengan perkataan Imam Ahmad bin Hanbal dan ulama salaf lainnya yang semakna perkataannya dengan beliau yang menyatakan :

“Apabila kami meriwayatkan dari Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam tentang halal, haram , sunan (sunat-sunat) dan ahkam, KAMI KERASKAN (yakni kami periksa dengan ketat) sanad-sanadnya. Dan apabila kami meriwayatkan dari nabi shalallahu alaihi wa sallam tentang FADHA ILUL A’MAL dan tidak menyangkut hukum dan tidak marfu’ (tidak disandarkan kepada beliau shalallahuu alaihi wa sallam ) KAMI PERMUDAH di dalam (memeriksa) sanad-sanadnya. (shahih riwayat Imam Al Khatib al Baghdhadi dikitabnya al kifaayah fi ilmir riwaayah hal 134).

Perkataan Imam Ahmad diatas diriwayatkan juga oleh Imam-imam yang lain (banyak sekali) tetapi tanpa tambahan : dan yang tidak marfu . Maksudnya : Riwayat-riwayat mauquf (yakni perkataan dan perbuatan shahabat) atau riwayat-rwayat dari tabi’in dan atha’ut taabi’in. Kebanyakan dari mereka dalam memahami perkataan Imam Ahmad diatas, bahwa BELIAU MEMBOLEHKAN mengamalkan hadist-hadist dha’if untuk fadha ilul a’mal !! Jelas sekali , pemahaman diatas keliru bila ditinjau dari beberapa sudut ilmiah, diantaranyaa ialah :” bahwa yang dimaksud oleh Imam Ahmad bin Hambal dengan tasahul (bermudah-mudah) dalam fadha ilul a’mal ialah hadist-hadist yang DERAJATNYA HASAN (bukan hadist-hadist dha’if meskipun ringan kelemahannya). Karena , hadist pada zaman beliau dan sebelumnya tidak terbagi kecuali menjadi 2 bagian : SHAHIH dan DHA’IF.

SEDANGKAN HADIST DHA’IF TERBAGI PULA MENJADI 2 BAGIAN

PERTAMA : hadist-hadist dha’if yang ditinggalkan , yakni tidak dapat diamalkan atau dijadikan hujjah.

KEDUA : Hadist-hadist dha’if yang dipakai, yakni dapat diamalkan atau dijadikan hujjah .

Yang terakhir ini kemudian dimasyhurkan dan ditetapkan sebagai salah satu bagian dari derajat hadist oleh Imam Tirmidzi dengan istilah HADIST HASAN. Jadi , Imam Tirmidzi yang PERTAMA KALI membagi derajat hadist menjadi bagian : SHAHIH , HASAN dan DHA’IF.

Demikianlah penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnul Qoyyim dan para ulama lainnya.

KEDUA : Menjelaskan kesalahan mereka yang TIDAK PERNAH memenuhi syarat-syarat yang telah dibuat oleh sebagian ulama dalam mengamalkan hadist dha’if untuk fadha ilul a’mal atau targhib dan tarhib.

Perlu kita ketahui Sesungguhnya ulama-ulama kita yang TELAH MEMBOLEHKAN beramal dengan hadist-hadist dha’if di atas , telah membuat BEBERAPA PERSYARATAN yang SANGAT BERAT dan KETAT. Persayaratan tsb tidak akan dapat dipenuhi kecuali oleh mereka (ulama) yang membuatnya atau ulama-ulama yang memiliki kemampuan sangat tinggi dalam ilmu hadistnya (para muhadist).

Ada sejumlah persyaratan yang telah dibuat oleh para ulama kita Kemudian, ada beberapa keterangan yang sangat berfaedah. Insya Allahau ta’ala.

Syarat pertama

Hadist tersebut khusus untuk fadhailul amal atau targhib dan tarhib. Tidak boleh untuk aqidah atau ahkam (spt hukum halal, haram ,wajib, sunat , makruh) atau tafsir Qur’an. Jadi , seorang yang akan membawakan hadist-hadist dho’if, terlebih dahulu HARUS MENGETAHUI mana hadist dha’if yang MASUK bagian fadha ilul a’mal dan mana hadist dha’if yang masuk bagian aqidah atau ahkam. Tentu saja persyaratan pertama ini CUKUP BERAT dan tidak sembarang orang dapat mengetahui perbedaan hadist-hadist dha’if diatas kecuali mereka YANG BENAR-BENAR AHLI HADIST. Kenyataannya, kebanyakan dari mereka (khususnya kaum KHUTOBAA’- para penceramah / khotib) tidak mampu dan telah melanggar persyaratan pertama ini. Berapa banyak hadist-hadist dho’if tentang aqidah dan ahkam yang mereka sebarkan melaului mimbar-mimbar dan tulisan-tulisan.!!!!

Syarat kedua

Hadist tersebut TIDAK SANGAT DHOIF apalagi MAUDHU’ , BATIL , MUNGKAR dan Hadist-hadist yang TIDAK ADA ASALNYA. Yakni, yang boleh dibawakan hanyalah hadist-hadist yang ringan (kelemahannya). Persyaratan kedua ini LEBIH BERAT dan SULIT dibandingkan dengan syarat yang pertama. Karena, untuk mengetahui suatu hadist itu derajatnya SHAHIH , HASAN, DHA’IF ringan , sangat DHA’IF , dst. Bukanlah pekerjaan yang mudah sebagaimana telah dimaklumi oleh mereka yang faham betul dengan ilmu yang mulia ini. Pekerjaan tsb merupakan yang sangat berat sekali yang hanya dapat dikerjakan oleh para AHLI HADIST yang benar-benar ahli. Dan persyaratan kedua inipun DILANGGAR besar-besaran . Berapa banyak hadist yang batil dan mungkar , sangat dha’if , maudhu’ ,dan tidakada asalnya yg mereka sebarkan dengan lisan maupun tulisan.

Syarat ketiga

Hadist tsb TIDAK BOLEH DI-I’TIQODKAN (diyakini) sebagai sabda Nabi Shalallahu alaihi wa sallam sebab bisa terkena ancaman beliau : yakni berdusta atas nama beliau. Persyaratan ketiga ini SAMA SEKALI tidak dapat dipenuhi, yang membawakan dan mendengarkan betul-betul MENYAKINI sebagai sabda Nabi shalallahu alaihi wa sallam

Syarat keempat

Hadist tsb harus mempunyai dasar yang umum dari hadist yang shahih . Persyaratan yang ke-4 ini selain susah dan lagi-lagi mereka tidak dapat memenuhinya, juga apabila TELAH ADA hadist yang shahih untuk apalagi segala macam hadist-hadist yang dha’if.

Syarat ke-5

Hadist tsb TIDAK BOLEH DIMASYHURKAN (DIPOPULERKAN). Menurut Imam ibnu Hajar rahimahulllah , apabila hadist-hadist dha’if itu dipopulerkan, niscaya akan terkena ancaman berdusta atas nama nabi Shalallahu alaihi wa sallam.

Lihatlah ! Ramai-ramai mereka menyebarkan dan mempopulerkan hadist-hadist dha’if , sangat dha’if , bahkan maudhu’ sehingga umat lebih mengenal hadist-hadist tsb daripada hadist shahih. Innalillahi wa inna ilahi rooji’un !! Alangkah terkenanya mereka dengan ancaman nabi Shalallahu alaihi wa sallam.

Syarat ke-6

Wajib memberikan bayan (PENJELASAN) bahwa hadist tersebut dha’if saat menyampaikan atau membawakannya. Kalau tidak , niscaya mereka terkena kepada kepada ancaman menyembunyikan ilmu dan masuk ke dalam ancaman Nabi Shalallahu alaihi wa sallam :” Ancaman berdusta atas nama Nabi Shalallahu alaihi wa sallam”.

Demikian ketetapan para muhaqiq dari ahli hadist dan ulama ushul sebagaimana diterangkan oleh Abu Syaamah (baca Tamaamul minnah : Al Bani hal :32) Inilah hukum orang yang “diam”, tidak menjelaskan hadist-hadist dha’if yang ia bawakan untuk fadhailul a’mal.

Maka bagaimana dengan orang yang “diam” terhadap riwayat-riwayat yang bathil , sangat dha’if, atau maudhu untuk fadhailul a’mal ??? Benarlah para ulama kita - rahimahumullah- bahwa mereka terkena ancaman menyembunyikan ilmu dan berdusta atas nama nabi shalallahu alaihi wa sallam.

Syarat ke-7

Dalam membawakannya TIDAK BOLEH menggunakan lafadz-lafadz jazm (yang menetapkan) seperti :”Nabi shalallahu alaihi wa sallam telah bersabda atau mengerjakan sesuatu atau memerintahkan dan melarang dan lain-lain yang menunjukkan ketetapan atau kepastian bahwa Nabi Shalallahu alaihi wa sallam BENAR-BENAR bersabda dst. Tetapi wajib menggunakan lafadz TAMRIDH (yaitu lafadz yang TIDAK MENUNJUKKAN sebagai sesuatu ketetapan) , seperti :

Telah diriwayatkan dari Nabi shalallahu alaihi wa sallam dan yang serupa dengannya dari lafadz tamridh sebagaimana telah dijelskan oleh imam Nawawi dalam muqoddimah kitabnya al majmu’syarah muhadzdzab (1/107) dan para ulama lainnya. Persyaratannya yang terakhir ini , selain mereka tidak memiliki kemampuan , juga tidak bisa dipakai lagi pada jaman kita sekarang (dimana ilmu hadist sangat gharib / asing sekali). Karena kebanyakan dari ahli ilmu sendiri (kecuali ahli hadist) teristimewa kaum khutobaa / para khatib dan orang awam tidak dapat membedakan antara lafadz jazm dan tamridh.

Dikutip dari risalah :

Berhati-Hati Dalam Meriwayatkan Hadist Nabi Shallahu Alaihi Wa Sallam Dan Beberapa Kesalahan Dalam Meriwayatkan Dan Hukum Meriwayatkan Dan Mengamalkan Hadist-Hadist Dhaif Untuk Fadhaa-Ilul A’mal , Tagrib Dan Tarhib Dan Lain-LainOleh : Fadhilatul Ustadz Abdul Hakim Abdat


DASAR-DASAR UNTUK MEMAHAMI AL-QURAN


Memahami Al-Quran hukumnya adalah wajib berdasarkan ayat berikut:

" Maka mengapakah mereka tidak mau mentadabburi al-Qur'an? Apakah karena hati mereka terkunci mati? " (QS 47:24)

Ada beberapa tahapan agar kita mampu untuk memahami dan mampu berinteraksi dengan Al-Quran.

Memperhatikan adab tilawah.

Membaca satu surat, satu juz, atau satu ruku’ dengan pelan- pelan, khusyu’, tadabbur dan penuh penghayatan. Tidak mementingkan target dalam satu hari harus selesai satu surat, satu juz atau beberapa lembar.

Memperhatikan dan merenungi satu ayat, diperdalam untuk mendapatkan arti yang terkandung dalam ayat tersebut, dengan cara dibaca dengan penuh perasaan dan penghayatan, mendengarkan dari bacaan orang lain atau kaset dan dilakukan berulang­-ulang sampai mendapat arti yang terkandung dalam ayat tersebut.

Mempelajari secara rinci, susunan kata, konteks kalimat, arti yang terkandung, sebab turunnya (asbabun nuzul), i'rab sampai betul-betul memahami seluk-beluk ayat tersebut dan berbagai sudut pandang.

Memahami korelasi ayat dengan kondisi sekarang.

Merujuk kepada yang dipahami oleh para salafus shalih terutama pemahaman para shahabat. Hal ini dikarenakan mereka lebih ahli dibanding Profesor Al-Quran terpintar saat ini pun, karena mereka mendapat petunjuk langsung dari Rasulullah saw. Oleh karena itu, dari aspek kesopanan dan aspek ilmiah, kita harus lebih mendahulukan pemahaman para shahabat. Hal ini untuk mencegah agar Al-Quran tidak difahami sesuai dengan hawa nafsu kita.

Mempelajari pendapat para ahli tafsir yang memiliki bobot ilmiah.

Wirid Harian Seorang Muslim dalam Membaca Al-Qur'an

Allah swt, menyukai amal shalih yang istimrar berkesinambungan walaupun sedikit dibanding banyak tetapi kurang memperhatikan aspek kontinyuitasnya. Seorang muslim hendaknya merancang wirid harian untuk berinteraksi dengan Al-Quran, sebagai berikut:

Wirid tilawah, tidak kurang sehari satu juz.

Wirid hapalan menghapal 1 sampai tiga ayat setiap hari.

Wirid tadabbur, mentadabburi Al-Qur’an 1 sampai 3 ayat setiap hari.

Kunci-kunci untuk Dapat Memahami dan Berinteraksi dengan Al-Quran

Memahami al-Quran sebagai kitab yang syamil mencakup seluruh urusan kehidupan.

Al-Quran adalah kitab yang syamil, manhaj hidup yang sempurna, memiliki tabiat gerak yang hidup, membangun peradaban yang positif dan tetap berpengaruh sampai akhir zaman.

Sebagian orang terperangkap untuk memandang Al-Quran dan satu sisi saja, misalkan hanya memandang Al-Quran dan ilmu pengetahuannya saja, sejarahnya saja, bahasanya saja, ataupun Al-Quran hanya dijadikan jampi-jampi sebagai obat saja, dsb.

Kita tidak mengingkari bahwa semua hal itu dicakup oleh Al-Quran, bukan kita tidak mempelajari bagian-bagian itu semua tapi yang tidak boleh ialah hanya menghususkan diri kita pada satu sisi saja.

Ada sebagian ulama yang membahas Al-Quran dari sisi akhlaq, sisi ekonomi, sosiologi, tata bahasa dan lain-lain. Ini adalah usaha yang sangat berharga dan kita tidak bisa mengesampingkannya. Tapi hendaklah orang yang mempelajari Al-Quran memahami bahwa Al-Quran adalah satu kerangka yang menyeluruh, menyeluruh dalam tabi’atnya, peranannya, risalah, mu’jizat, ilmu, tema-temanya, manhaj, undang-undang dan ­syari’atnya serta setiap perkara yang diisyaratkan dalam al-Qur’an.

Memfokuskan kepada tujuan utama Al-Quran.

Sebagian manusia menggunakan Al-Quran dengan tujuan sampingan, tujuan furu'iyah atau sama sekali tidak sesuai dengan tujuan Al-Quran diturunkan. Seperti Al-Quran dijadikan untuk perlombaan, Al-Quran dibaca untuk orang mati saja, Al-Quran hanya diambil barakahnya dengan dijadikan azimat, ruqa' dan tamimah. Al-Quran hanya dijadikan pajangan yang menghiasi rumah, mobil atau tempat-tempat lain.

Mereka tidak menggunakan Al-Quran untuk membukakan hati, jiwa, perasaan dan

akal, sehingga mereka hidup tidak sesuai dengan tuntunan Al-Quran dalam seluruh lapangan kehidupan, baik kehidupan pribadi, rumah tangga, masyarakat, pendidikan, ekonomi, yayasan-yayasan, negara dan sebagainya.

Tujuan utama Al-Quran berkisar pada empat perkara berikut ini:

Al-Quran sebagai petunjuk jalan yang lurus menuju Allah (Al-Isra: 9, as-Syura: 52, al-Maidah: 15 – 16).

Membentuk kepribadian muslim yang seimbang. Diantaranya adalah:

1. Menanamkan iman yang kuat.

2. Membekali akal dengan ilmu pengetahuan.

3. Memberi arahan untuk dapat memanfaatkan potensi yang dimiliki dan sumber-­sumber kebaikan yang ada di dunia.

4. Menetapkan undang-undang agar setiap muslim mampu memberikan sumbangsih dan kreatif untuk mencapai kemajuan.

Membentuk masyarakat muslim yang betul-betul Qur'ani, yaitu masyarakat yang anggotanya terdiri dari orang-orang yang merupakan penjelmaan Al-Quran dalam setiap gerak kehidupannya. Masyarakat yang diasuh dan dibimbing dengan arahan Al-Quran, hidup di bawah naungannya, dan berjalan di bawah cahayanya, seperti masyarakat sahabat (al-Anfal 24).

Membimbing umat dalam memerangi kejahihiyyahan.

Memperhatikan sisi harakah dalam menegakkan dakwah, jihad dan hukum Islam, karena Al-Quran memiliki sifat (waqi'iyah harakiyah):

Jidiyatul harakiyah.

Harakah dzatu marahil.

Harakah daibah walwail mutajaddidah.

Syari'at mengatur hubungan dengan kelompok non muslim.

Menjaga suasana pemikiran agar selalu ada dalam bingkai topik permasalahan yang terkandung dalam ayat yang sedang dibaca.

Ketika membaca Al-Quran diperbolehkan untuk memperdalam satu ayat dari sisi ilmu pengetahuan, dan sisi tata bahasa atau yang lainnya, tapi hendaknya, perasaan, pemikiran, penghayatannya dan perhatiannya tetap pada pokok pikiran ayat yang sedang dibaca.

Menjauhi bertele-tele yang bisa menghalangi cahaya Al-Qur'an.

Misalnya tenggelam dalam perbedaan pendapat tentang qiraat, i'rab, balaghah, asal kata, perbedaan-perbedaan masalah fiqih, mempertentangkan tokoh, tempat, tanggal kisah­-kisah yang diungkap dalam Al-Quran. Misalnya mempertentangkan asal kata Malaikat, berapa jumlah Ashabul Kahfi dan lain-lain.

Tapi itu semua bukan berarti tidak boleh dilakukan, boleh dikerjakan oleh orang-orang yang memiliki spesialisasi dalam ilmu tafsir.

Menjauhi Israiliyyat (cerita-cerita palsu) dan menjauhi dari mempermasalahkan ayat-ayat yang mutasyabihat.

Memasuki Al-Quran tanpa didahului oleh asumsi dan opini tertentu.

Hal ini untuk menghindarkan agar makna-makna Al-Quran tidak dipaksakan agar sesuai dengan asumsi yang telah dia pegang dan berusaha mencari-cari legitimasi atas pendapat yang ia pegang dan bukan mempelajari Al-Quran untuk meluruskan pemahaman dia.

Seperti yang dilakukan oleh para shahabat apabila mereka membaca Al-Quran mereka melepaskan seluruh keyakinan dan persepsi mereka yang mereka pegang ketika masa jahiliyyah.

Tsiqah secara mutlak terhadap semua petunjuk, perintah, larangan dan berita yang diungkapkan oleh Al-Quran.

Memahami isyarat-isyarat yang terdapat dalam Al-Quran.

Di dalam Al-Quran terdapat rahasia-rahasia arti yang terkandung yang tidak akan dipahami kecuali oleh orang-orang yang telah memilki kunci-kunci untuk berinteraksi dengan Al-Quran dan ia memiliki bashirah, limpahan keimanan dan kesiapan untuk hidup di bawah naungan Al-Quran.

Seperti ayat keimanan mendorong orang untuk merasa diawasi oleh Allah, membaca tentang hari qiamat tergerak hatinya untuk takut akan adzab Allah, kemudian ia mampu memahami hubungan satu ayat dengan yang lain padahal ayat itu diturunkan dalam senggang waktu yang cukup jauh.

Mempunyai pemahaman bahwa satu kata atau kalimat dalam Al-Quran mempunyai beberapa pengertian.

Karena ayat Al-Quran sering diungkapkan dengan kalimat yang singkat tapi padat (I’jaz), seperti surat Al-Ashri, Imam Syafi’i mengatakan: "Kalaulah manusia mentadabburi surat al-Ashri tentu surat itu sudah cukup bagi mereka sebagai pegangan hidup" . Contoh lain al-Isra’: 16; al-Mujadilah: 5; al-A‘raf: 34; dan Thaha: 124.

Mempelajari realita shahabat dalam pengamalan al-Quran.

Ibnu Mas'ud berkata, "Kami sulit menghafal lafadh Al-Quran tapi mudah mengamalkannya sedang orang sesudah kami mudah untuk menghapal tapi sulit

mengamalkannya."

Ibnu Umar berkata, "Para shahabat diberi iman sebelum Al-Quran, sehingga Al-Quran turun kepada Nabi Muhammad menjelaskan hukum halal dan haram, lalu mereka berpegang teguh dengan ayat tersebut."

Contoh, ketika turun ayat yang memerintahkan untuk mengalihkan arah qiblat dari Masjidil Aqsha ke Masjidil Haram maka mereka serentak melaksanakan dengan penuh ketaatan dan komitmen.

Memahami bahwa Al-Quran tidak dibatasi dengan tempat dan zaman.

Memahami korelasi ayat-ayat Al-Quran dengan realita yang ada sekarang.

Merasa bahwa ayat-ayat Al-Quran ditujukan kepada dirinya.

Mempelajari Al-Quran dengan manhaj talaqqi yang benar (berhadap-hadapan dengan guru yang sudah diverifikasi bacaannya, bahkan kalau bisa ada silsilahnya sampai nyambung ke Rasulullah saw).

Menjauhkan diri dari perbedaan-perbedaan pendapat para ahli tafsir.

Memperhatikan Bagaimana para Shahabat ra Berinteraksi dengan Al-Quran.

Para shahabat ra adalah generasi yang tumbuh dengan Al-Quran, hidup di bawah naungannya, menikmati ayat-ayatnya, berinteraksi dengan nash-nashnya, memahami petunjuk-petunjuknya. Mereka disinari oleh cahaya Al-Quran, sehingga mereka menjadi generasi Qurani yang unik.

Menelaah bagaimana mereka merealisasikan Al-Quran dalam kehidupannya membantu kita untuk dapat meneladani mereka dan menempuh jalan yang pernah

mereka tempuh.

lbnu Mas’ud ra berkata: "Kami sulit menghapal lafadh Al-Quran tapi mudah mengamalkannya sedang orang sesudah kami mudah untuk menghapal tapi sulit mengamalkannya."

Ibnu Umar berkata: "Kami melalui masa yang panjang, seseorang diantara kami diberi iman sebelum Al-Quran, sehingga surat-surat turun kepada Nabi Muhammad, maka iapun mempelajari halal dan haram, perintah dan larangan dan

bagaimana ia harus bersikap. Lalu saya melihat orang yang diturunkan Al-Quran sebelum iman, maka ia membaca surat al-Fatihah sampai khatam, tetapi ia tidak tahu apa yang dilarang dan bagaimana harus bersikap, ia membaca Al-Quran dan menganggapnya sama dengan buku-buku murahan."

Contoh-contoh para shahabat ra dalam berinteraksi dengan Al-Quran adalah sebagai berikut:

Ketika turun QS 2:144. Seorang dari bani Salamah yang lewat ketika orang-orang sedang ruku’ shalat shubuh, mereka telah shalat 1 raka'at, maka ia menyeru . "Qiblat telah dialihkan!" Maka merekapun berbalik kearah Ka'bah. (HR Bukhari dan Abu Daud)

Ibroh: Mereka mengerjakan suatu perintah dengan sesegera mungkin dan sungguh­-sungguh.

Ketika turun QS 4:95 maka Ibnu Ummi Maktum ra bertanya kepada Nabi SAW : "Ya Rasulullah, bagaimana dengan orang yang tidak mampu berjihad?" Maka turun ayat lanjutannya : "Kecuali bagi yang mempunyai ‘udzur". (HR Bukhari dan Tirmidzi)

lbroh: Ketelitian para sahabat dan perhatian mereka yang tinggi pada setiap ayat yang turun.

Ketika turun QS 6:82 Para shahabat ra merasa sempit, maka mereka berkata : "Ya Rasulullah siapa diantara kita yang tidak pernah berbuat zalim? Maka Nabi SAW menjawab : "Bukan zalim itu yang dimaksud, tetapi maksudnya adalah syirik, tidakkah kalian mendengar firman Allah SWT (QS 31:13)?" (HR. Bukhari, Muslim dan Tirmidzi)

lbroh : Rasa takut mereka yang luarbiasa terhadap suatu dosa, dan tidak menganggapnya kecil.

Ketika turun QS 4:123. Abubakar ra berkata: "Setiap kemaksiatan yang aku lakukan akan dibalas, maka aku tidak mendapatkan sesuatu untuk dapat melepaskanku dari azab dipunggungku." Maka sabda Nabi SAW "Apa yang anda katakan itu wahai Abubakar ?" Jawabnya : "Ya Rasulullah semua keburukanku akan dibalas." Jawab Nabi SAW : "Semoga Allah mengampuni anda, tidakkah anda pernah sakit, kapayahan, sedih dan tertimpa musibah ?" Maka jawabnya: "‘Ya" Maka jawab Nabi SAW : "Itulah balasannya." (HR Ahmad dalam al-Musnad)

Ibroh: Para shahabat ra merasa setiap ayat Al-Quran itu ditujukan kepada diri mereka bukan orang lain.

Ketika Abu Thalhah ra membaca ayat 9:41, ia berkata : "Allah sudah memerintahkan kepada yang tua maupun muda untuk bernagkat jihad." (HR At-Thobari)

lbroh: Mereka senantiasa mentadabburi setiap ayat-ayat dengan sungguh-sungguh, dan berusaha mengamalkannya sekuat tenaga.

Merasa Bahwa Setiap Ayat itu Ditujukan Kepada Kita

lmam al-Ghazali dalam al-Ihya' berkata: "Merasa bahwa kitalah yang dimaksud oleh setiap khithob Al-Quran. Jika Al-Quran memerintah maka kitalah yang diperintah, jika Al-Quran melarang maka kitalah yang dilarang, jika Al-Quran memberi janji maka kitalah yang diberi janji, jika Al-Quran mengancam maka kitalah yang diancam, jika Al-Quran bercerita maka kitalah yang harus mengambil ibrohnya, bahkan jika khithob Al-Quran berbentuk jamak maka kitalah yang paling dimaksud (QS 6:19). Bagaikan seorang budak yang membaca surat dari majikannya, sehingga dengan demikian maka bacaan Al-Quran akan menambah keimanan, iltizam (komitmen), pengamalan dan menjadi rijal Quraniy yang memberikan atsar dan manfaat pada dirinya dan orang lain."

Ketika membaca Al-Quran tidak lantas berfikir alangkah baiknya jika ini saya sampaikan dalam kuliah/khutbah/ceramah, dsb. Seolah-olah Al-Quran ini bukan untuk dirinya tetapi untuk orang lain selain dia, sementara ia sudah baik. Contohlah ketika Umar ra mendengar seseorang sedang membaca surat at-Thuur.

Tidak menganggap bahwa kisah para Nabi as itu hanya cerita para Nabi as itu saja, atau ayat-ayat hukum itu untuk para pemimpin, ayat-ayat jihad untuk nanti jika ada jihad, ayat-ayat da'wah untuk para 'ulama/muballigh dst.

Memahami bahwa Al-Quran Tidak Terbatas dengan Waktu dan Tempat

Tidak boleh membatasi Al-Quran hanya berlaku untuk masa tertentu, orang tertentu, kaum tertentu, kecuali memang ada dalil-dalil yang jelas tentang pengkhususannya.

Contoh QS 5:44 bukan khusus untuk bani Isra'il. QS 2:217 bukan khusus bagi orang Quraisy yang memerangi Nabi SAW saja, dst.

Dengan demikian harus kita fahami bahwa Al-Quran sesuai dengan masa kini, terdapat relevansi yang sangat kuat. Kita akan mendapat jawaban tentang masalah yang kita hadapi dan akan kita lihat bahwa fenomena yang ada sekarang dibahas dengan pas oleh Al-Quran. Sebagai contoh adalah sbb :

Al-Hadid 4. Bahwa sampai sekarang Allah senantiasa bersama kita. (Muraqabah dan Ma’iyyatullah).

Al-Anbiya 59-61. Pribadi lbrahim as vs Namrud dan pengikutnya.

Al-Kahfi 19-20. Para pemuda dan peranannya.

Al-Qashash 4. Fir’aun, karakteristik dan kesesatannya.

Al-Muthaffifin 9. Sikap dan sifat orang durhaka.

Al-A’raaf 96. Sunnatullah yang berlaku sepanjang zaman.

An-Nisaa’ 19. Masalah hubungan keluarga.

As-Shaff 8-9. Perang agama.

Untuk lebih memahami ini kita dituntut untuk menambah wawasan kita dengan tsaqofah (wawasan) yang kontemporer, sehingga kita akan lebih luas memahami ayat-ayat Al-Quran, baik sejarah, politik. ekonomi, sosial, iptek, dll.

Memahami Dasar-Dasar Ilmu Tafsir

Seperti ilmu bahasa Arab (nahwu, sharaf dan balaghah), Ilmu Fiqh dan hukum-hukumnya, ilmu Ushul fiqh, dan Ulumul Quran (Sabab-nuzul, Makkiy-Madaniy, Nasikh-Mansukh, I’jaz al-Qur’an, qashash Al-Quran, qasam, Uslub Al-Quran, ahkam Al-Quran, dsb).

Sebagian orang berpendapat bahwa itu hanya bisa dikuasai oleh orang-orang yang memiliki spesialisasi dibidang tsb, seperti lulusan IAIN, LIPIA, dsb, ini merupakan pemahaman yang salah, karena Al-Quran tidak ditujukan kepada kelompok tertentu dan tidak untuk dilaksanakan oleh kelompok tsb saja, melainkan kepada seluruh muslimin dan muslimat. Menguasai dasar-dasar ilmu

Al-Quran tidak sulit dan bukan mustahil, walaupun tidak juga sangat mudah seperti membalik tangan. Bukan berarti semua kita harus menjadi ahli tafsir yang mengetahui ilmunya secara terinci, tetapi agar setiap muslim memiliki bekal yang asasi untuk dapat memahami dan berinteraksi dengan Al-Quran.

Ya Allah, jadikanlah kami ahlul Quran dan jangan Engkau haramkan kepada kami untuk memahami Al-Quran, dan berikanlah kepada kami taufik dan hidayahMu agar kami senantiasa mampu untuk mengamalkan Al-Quran...

Disadur dari Tulisan Dr. Shalah Abdul Fattah al-Kholidiy

Template by : Kendhin x-template.blogspot.com